[caption id="attachment_198597" align="aligncenter" width="565" caption="Tersangka kasus suap Bupati Buol Hartati Murdaya Poo memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa. Hartati datang dengan menggunakan kursi roda dan naik mobil ambulans, Rabu(12/9/2012). Foto: TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN"][/caption] Betapa dramatisnya pra-pemeriksaan tersangka suap Hartati Murdaya di KPK hari ini, Rabu (12/9). Kedatangan Hartati ke KPK pagi ini diantar ambulans dari RS Medistra, Jakarta. Belum cukup sampai di situ, Hartati nampak duduk tak berdaya di kursi rodanya. Sambil menyeret kursi rodanya mata Hartati kelihatan menangis. Tiap sebentar Hartati memencet hidungnya. Tak lama kemudian kamera televisi (MetroTV) menyorot pada pengacara Hartati, Tumbur Simanjuntak. Valdya Baraputri mewawancarai Tumbur. Antara lain ditanya tanggapan atas rencana pemeriksaan hari ini dan pertanyaan soal penyakit Hartati. Dikatakan oleh Tumbur, bahwa mereka keberatan atas tuduhan suap pada diri kliennya. Tuduhan itu tidak tepat. Yang benar adalah pemerasan. Ini karena inisiatif permintaan uang bukan pada diri Hartati, melainkan yang berinisiatif minta uang adalah Bupati Buol. Berbeda halnya, masih kata Tumbur, jika yang berinisiatif minta uang adalah kliennya maka barulah bisa diterapkan pasal penyuapan. Ia mengaku memiliki bukti-bukti (saksi-saksi) untuk membuktikan pembelaannya. Tumbur mencontohkan dalam kasus jaksa Urip Trigunawan. Urip yang berinisiatif meminta uang akhirnya dikenakan Pasal 12 huruf e UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 huruf e UU Tipikor sendiri menyatakan, "pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri." Sebagaimana telah saya tulis di sini, keterangan pihak Hartati demikian telah berubah dari saat awal Bupati Buol Amran Batalipu ditangkap. Waktu itu Hartati menyatakan memberi sumbangan kepada pihak Bupati Buol Amran Batalipu. Sumbangan demikian dikategorikan sebagai suap (gratifikas) berdasarkan Pasal 12 B UU Tipikor. Selain pasal ini, bisa juga diterapkan Pasal 13 UU Tipikor. Menurut Pasal 12 B UU Tipikor, setiap gratifikasi (pemberian dalam arti luas) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan yang nilainya kurang dari Rp.10 juta atau lebih pembuktiannya dilakukan oleh penerima gratifikasi dan yang nilainya kurang dari Rp.10 juta pembuktiannya dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Dalam praktik tidak mudah membuktikan unsur Pasal 12 B UU Tipikor ini. Terutama sulit membuktikan unsur 'apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya'. Karena atas nama pegawai negeri atau pejabat negara yang melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) maka dengan demikian otomatis sesuai atau tidak bertentangan dengan tugas melaksanakan apa yang diminta si penyuap. Maka, dalam praktik peradilan, orang seperti posisi Hartati biasanya akan dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 13 UU Tipikor. Konstruksi kedua pasal ini mengabaikan soal siapa yang berinisiatif akan tetapi menitikberatkan pada pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Sementara itu, KPK memang menjerat Hartati sebagai tersangka dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun dan minimal 1 tahun, atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun. Apakah Hartati akan diperiksa juga hari ini sebagai tersangka berhubung ia sakit dan apakah akan ditahan? Kita tunggu saja perkembangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H