[caption id="attachment_197097" align="aligncenter" width="512" caption="Kapolri Timur Pradopo/sergapntt.com"][/caption] Sampai hari ini, Rabu (5/9), belum terdengar Kapolri Jenderal Timur Pradopo mencabut usulannya untuk merelokasi warga Syiah di Sampang. Usulan demikian disampaikannya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin (3/9) lalu. Usulan konyol demikian amat sangat keterlaluan dan membahayakan NKRI karena muncul dari mulut komandan tertinggi Polri. Hal demikian adalah refleksi pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang tak mengerti, tak memahami dan tak menghayati konstitusi UUD 1945. Terutama tidak menghayati hak asasi manusia (HAM) yang digariskan UUD 1945 sebagai norma dasar tertinggi aturan main bernegara di Indonesia, khususnya hak beragama dan hak memilih tempat tinggal. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 tegas menyatakan “Setiap orang bebas…memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali." Subjek hukum 'setiap orang' yang dimaksud pasal ini tak terkecuali warga Syiah di Sampang. Pada sisi lain, konstitusi UUD 1945 membebankan tanggungjawab perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM setiap warga negara ke pundak Negara dan Pemerintah RI cq. Presiden RI cq. Kapolri cq. Kapolda Jawa Timur cq. Kapolres Sampang cq. Kapolsek Omben. Inilah jajaran aparat yang bertanggung jawab hirarkis atas perlindungan HAM warga Syiah khususnya di Kecamatan Omben Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah," tegas Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian jajaran hirarkis aparat negara tersebut di atas tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Mereka diangkat atas dasar undang-undang dan digaji oleh uang warga pembayar pajak untuk menjalankan konstitusi dan perundangan organik lainnya. Bukan untuk mengelak dari tanggung jawab, antara lain dengan mencari cara gampang yang inkonstitusional (baca: relokasi). Mengelak dari tanggung jawab demikian merupakan bentuk pelanggaran konstitusi yang serius. Jangan ada lagi pikiran merelokasi warga hanya karena alasan konflik agama, keluarga, atau motif apapun. Konfliknya itu yang harusnya ditangani oleh kepolisian, bukan orang yang berkonflik, apalagi korban, yang "diusir" (direlokasi). Jika Kapolri tidak kunjung mencabut ucapannya dan meminta maaf pada korban warga Syiah sampang dan setiap warga negara Indonesia, maka Kapolri pada dasarnya sudah kehilangan legitimasi moral dan hukum. Kapolri telah menunjukkan tersirat keberpihakan pada perusuh, dengan mengusulkan korban direlokasi, dan bersamaan menunjukan sikap anti-konstitusi. Karena itu, sebaiknya Kapolri didesak untuk mundur saja.[] ----------------- Artikel terkait: Kompasiana.com, Kapolri Ngawur, Sebaiknya Baca Lagi UUD 1945
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H