Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ulama Fatwa Sesat Sebaiknya Ditangkap!

30 Agustus 2012   02:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:09 2180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_196009" align="aligncenter" width="361" caption="Ilustrasi/hornbillunleashed.wordpress.com"][/caption] Jika mau konsisten dan konsekuen menegakkan hukum penodaan agama antara lain dalam Pasal 156a KUHP, maka para ulama yang memfatwa sesat umat Syiah, Ahmadiyah dll juga sebaiknya ditangkap, diadili dan dijebloskan ke penjara. Mengapa dan apa dasar argumennya? Pasal 156a dst KUHP pada dasarnya mengandung materi muatan yang netral, sekalipun pasal ini dikritik banyak pihak sebagai 'pasal karet', juga oleh penulis. Dikatakan netral karena pasal ini sama sekali tidak menyebutkan bahwa agama itu adalah 'sunni' atau 'ahlus sunnah waljama'ah'. Sama sekali tak ditemui dalam pasal bersangkutan. Yang ada justru pasal ini ditujukan 'terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia'. Syiah, Ahmadiyah, al-Qiyadah Islamiyah, Jam'iyyatul Islamiyah dll adalah 'suatu agama yang dianut di Indonesia' sebagaimana dimaksud Pasal 156a KUHP. Tidak dikecualikan dalam pasal bersangkutan! "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia," tegas Pasal 165a huruf a KUHP. Subjek hukum dalam Pasal 165a huruf a KUHP tersebut adalah 'barangsiapa', artinya, siapapun juga. Tidak terkecuali ulama di pondok pesantren, ulama di MUI, baik di daerah maupun di Jakarta. Jadi, ketika ada ulama yang menyatakan Syiah sebagai 'sesat dan menyesatkan' maka sudah masuk dalam unsur-unsur Pasal 156 a huruf a KUHP tersebut. Satu dan lain hal Syiah dll itu faktual ada di Indonesia. Ini dari segi perundangan organik dalam KUHP. Bagaimana dengan pandangan konstitusi UUD 1945? Pasal 28E, 28I, 29 UUD 1945 tegas menyatakan bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Konstitusi hanya menyebut 'bebas memeluk agama' atau 'hak beragama' atau 'merdeka memeluk agama'. Sama sekali tidak ada ditemui dalam UUD 1945 bahwa yang dimaksud 'agama' di sana adalah 'sunni' atau 'ahlus sunnah waljama'ah'. Juga, tidak ada ditemui dalam UUD 1945 bahwa yang dimaksud 'agama' di sana hanya terbatas pada Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Bahkan, agama-agama ini sama sekali tidak ada disebutkan tegas (explicit) dalam UUD 1945. Karena itu, mau tak mau yang dimaksud 'agama' oleh UUD 1945 adalah semua agama tanpa kecuali. Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan atau kemerdeaan setiap orang atau penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya itu. “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, …dst,” demikian bunyi Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu,” lanjut Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Yang harus digarisbawahi dari ketentuan Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, namun sering diabaikan banyak orang, adalah bentuk terikat atau pronomina persona akhiran -nya. Bentuk terikat -nya merupakan pronomina benda yang menyatakan milik, pelaku, atau penerima (Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, h. 789). Dihubungkan pada kasus Syiah Sampang pimpinan Ustadz Tajul Muluk, maka -nya yang dimaksud di sini tak lain tak bukan adalah Ustadz Tajul Muluk sendiri dan jamaahnya. Bukan umat reaksioner yang menentang Ustadz Tajul Muluk yang dijadikan patokan. Dengan demikian, cukuplah alasan untuk menangkapi ulama-ulama yang gemar memfatwa sesat aliran agama yang tak sepaham dengan dirinya dan kelompoknya.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun