Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Trauma Nonton Film Indonesia

9 Agustus 2012   01:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:04 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya termasuk penikmat film yang akut. Mungkin ratusan film kutonton tiap tahunnya. Umumnya film-film produksi Hollywood, Hongkong, Cina, Korea Selatan, Jepang, Iran, dan Bollywood. Tidak termasuk film produksi Indowood (baca: Indonesia).

Sudah lama sekali saya tak menonton film Indonesia. Trauma! Gembar-gembor promonya, tahu-tahu pas ditonton... Ya ampuuuun, maaf, jelek banget. Termasuk film Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Laskar Pelangi (2008) yang heboh itu. Aduuuuuuh, maaf, jelek segala-galanya. Jauh sekali dari ekspektasi sebelumnya. Ayat-Ayat Cinta (2008), misalnya, baru nonton tak sampai 15 menit aku langsung blingsatan lalu kabur dari bioskop. Tak tahan lagi.

Saya yakin Perahu Kertas (2012) yang disutradarai Hanung Bramantyo, dan sekarang lagi promo, juga begitu. Yakin saya. Rekam jejak Hanung sudah sama diketahui. Kemungkinan besar tak akan berubah terlalu jauh.

Nampaknya, banyak faktor yang mempengaruhi kualitas film Indonesia: level kecerdasan, pergulatan hidup, filasafat, teknologi, selera seni, dan modal keuangan. Para pembuat film Indonesia belum nyampe untuk bikin film berkualitas. Film adalah gabungan seni, sastra, filasat dan teknologi tinggi. Belum te-otak oleh orang Indonesia saat ini. Entah esok hari. Maaf saja.

Nonton film seperti menikmati makanan. Sekali terkecap yang lezat, lidah jadi terpola, maunya yang lezat terus. Lezat tidak harus mahal. Terasa sekali jika terkecap film yang tak lezat: inti cerita, plot, pencahayaan, tata suara, kharakter penokohan, editing, dll. Mood jadi rusak bila tertonton film jelek.

Saya bukan pakar perfilman tapi bisa merasakan kelezatan sebuah film, seperti saya dapat dari film-film produksi Hollywood dsb. Sama dengan kuliner, saya bisa merasakan kelezatannya tanpa harus jadi seorang chef terkenal seperti Farah Quinn, William Wongso, Heston Blumenthal dan Rene Redzepi.

Sebelum menulis artikel ini saya baru saja menyelesaikan nonton film thriller The Grey (2012) yang dibintangi Liam Neeson dan disutradarai Joe Carnahan. Kelezatannya memuaskanku.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun