PADANG -- Saya ingin mengawali artikel ini dengan mengutip artikel luar biasa dari Bung Handoyo El Jeffry berikut ini. "Sudah cukup panjang daftar penjahat negara yang lolos dari jeratan hukum hanya karena ‘kemahiran’ para kuasa hukum membolak-balik pasal-pasal dan ayat-ayat teks hukum dan memenangi perkara di pengadilan." (Handoyo El Jeffry, "Kisruh Hukum: Gagal Hukum Negara Hukum").
Kutipan itu kemudian kutanggapi sebagai berikut: "Maaf, Pak El, ini logika sesat. Yang membebaskan terdakwa itu BUKAN PENGACARA, tapi HAKIM. Hakim yang memutuskan seorang terdakwa apakah dibebaskan atau dipidana/dihukum. Pengacara itu sama kedudukannya dengan jaksa, sama-sama MEMOHON pada hakim. Hakimlah pemutus akhirnya." Mungkin maunya Bung El semua terdakwa itu harus dihukum, tidak boleh dibebaskan (?).
Sebagaimana diketahui bersama, di pengadilan itu setidaknya ada tiga pihak dengan tugas masing-masing: jaksa, pengacara, dan hakim. Jaksa bertugas menuntut terdakwa (otomatis menyalah-nyalahkan terdakwa); pengacara bertugas membela hak hukum terdakwa (otomatis mencari sisi menguntungkan atau meringankan terdakwa); dan hakim adalah wasitnya (tidak memihak kecuali pada fakta hukum). Masing-masing menjalankan tugasnya dalam suatu sistem sedemikian rupa.
Jadi, tak bisa disalahkan jika pengacara membela terdakwa, sekalipun terdakwa itu jelas-jelas seorang pembunuh, pemerkosa, atau bomber. Sebab, itulah tugas pengacara.
Hukum meletakkan sistem pembagian tugas sedemikian rupa salah satunya untuk menghindari peradilan sesat. Dengan cara itulah seorang pengacara memposisikan diri sebagai penyeimbangan dalam checks and balances di persidangan. Bayangkan, jika pengadilan hanya ada jaksa dan hakim saja, tentu jaksa akan leluasa menyalah-nyalahkan terdakwa, tanpa ada keseimbangan pembelaan dari kubu terdakwa, sehingga mungkin sekali kebenaran versi terdakwa tak terungkap dan hakim tak tahu ini.
Lantas, apakah hakim salah membebaskan seorang "penjahat" (baca: terdakwa) seperti kata Bung El? Tidak. Ini jika proses sampai lahirnya putusan hakim demikian murni hukum, bukan karena suap atau tekanan. Bahkan, sekalipun putusan hakim itu keliru dari segi penerapan hukum sekalipun. Jikapun demikian dan para pihak tak puas, silahkan ajukan kasasi.
Selain itu, setiap orang (termasuk tersangka atau terdakwa) belum bisa disebut "penjahat" sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Logikanya, jika setiap orang bisa seenaknya dituduh penjahat, maka setiap orang boleh dicap penjahat. Ini tentu tidak benar. Disinilah peran asas "praduga tak bersalah".
Memang, harus diakui, ada kesenjangan antara kesadaran berhukum sebagian warga dengan hukum itu sendiri. Maunya sebagian warga, khususnya yang memiliki kesadaran hukum emosional (bukan rasional), setiap orang yang dihadapkan ke pengadilan (khususnya perkara korupsi), harus dihukum (tidak boleh dibebaskan). Pertanyaannya, kalau tidak terbukti bagaimana? Makanya lembaga yang menyidangkan orang tersebut disebut "pengadilan" atau bukan "penghukuman". Jika terbukti, dihukum. Jika tak terbukti, dibebaskan. Kurang puas, silahkan banding atau kasasi.
Karena itu, menurut hemat saya, adalah keliru kesimpulan Bung El dari mengutip cerita Nabi Sulaiman bahwa "Sulaiman meminggirkan dalil hukum yang dipakai oleh Dawud ayahnya dalam memutus perkara, ketika dirasakan bertentangan dengan nurani-etika". Pasalnya, pegangan Nabi Sulaiman dalam memutus perkara bukan semata nurani-etika, melainkan bukti. Pengakuan ibu palsu si bayi merupakan bukti yang dikonstatasi secara contrario (kebalikan). Pun pengakuan ibu asli si bayi untuk mencabut tuntutan dan tak bersedia bayi dibelah dua, adalah bentuk pengakua yang kemudian diolah secara contrario oleh hakim (Nabi Sulaiman), bahwa benar bayi itu adalah bayinya karena mustahil ibu kandung rela bayinya dibelah dua dengan pedang. Dalam hukum universal, pengakuan adalah salah satu bentuk alat bukti.
Kubu terdakwa cenderung selalu ingin dibebaskan. Ini sah-sah saja dalam suatu persidangan. Nah, di sinilah peran hakim. Hakim yang akan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah, apakah pihak terdakwa (dan kuasa hukumnya) ataukah pihak jaksa (yang mewakili masyarakat dan negara).
Sementara itu, proses hukum tidak bisa digantungkan semata pada hati nurani, seperti disinggung-singgung Bung El, karena hati nurani subjektif sifatnya. Hati nurani bisa saja sesat jika asupan fakta yang masuk pada seseorang keliru atau kurang. Karena itu, bisa saja terjadi menurut A suatu putusan sudah adil, sedangkan menurut B putusan yang sama tidak adil. Di tangan hakimlah akhir semuanya. Pedoman putusan adalah fakta hukum, bukan utak-atik pasal (teks hukum).