[caption id="attachment_190273" align="aligncenter" width="614" caption="Derita pengungsi pelintas batas etnis Rohingya, di sungai Naf, Bangladesh, 13 Juli 2012. Foto: AFP, mizzima.com"][/caption] PADANG -- Pembersihan etnis Rohingya yang beragama Islam di Provinsi Rakhine Myanmar (Burma) sampai sekarang terus bereskalasi makin mengerikan. Populasi etnis Rohingnya terus menyusut dari tahun ke tahun akibat dibantai rezim penguasa dan suku lain di Myanmar. Tahun 1990-an etnis Rohingya berjumlah sekitar 7 juta jiwa, sekarang tinggal tersisa 700-an ribu jiwa saja. Apa yang dilakukan negara-negara di dunia yang mengaku beradab? Indonesia sebagai negara terbesar dan dianggap pimpinan di kawasan ASEAN paling-paling hanya bisa menyampaikan nota protes diplomatik; pemimpin demokrasi Myanmar sekaligus peraih hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu kyi hanya diam seribu bahasa. Sungguh mengecewakan. Haruskah pembersihan etnis ini dibiarkan terus sampai etnis Rohingnya punah ditelan sejarah? Yang terbaik memang setiap bangsa termasuk bangsa Myanmar berhak menentukan sendiri nasib dan masa depannya, tanpa campur tangan pihak asing. Tapi sampai kapan? Dalam suasana begini terasa bahwa dunia memang membutuhkan "polisi dunia". Hanya saja polisi dunia tak bisa diserahkan pada negara seperti Amerika Serikat. Sedangkan Dewan Keamanan PBB nampak tak bergigi lagi. Alangkah pedihnya Ramadhan di Provinsi Rakhine, Myanmar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H