Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hindari Bencana dari Lautan, Malah Dapat dari Pebukitan

25 Juli 2012   23:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:37 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maksud hati ingin menghindari bencana dari arah laut (tsunami), bencana malah datang dari arah bukit. Demikianlah kira-kira yang terjadi pada warga Padang akhir-akhir ini terutama para korban longsor di bukit-bukit dan korban banjir bah dari sunga-sungai hulu pebukitan di sekitar kota Padang. Galodo (banjir bandang) yang terjadi hari Selasa (24/7) adalah satu contoh.

Dahulu sekali, sejak zaman Belanda, pusat kota Padang berada di tepi laut, di sekitar Pondok (Pecinaan) sekarang. Kemudian terus berkembang sedemikian rupa tapi tetap mengikuti pola di tepi laut, mulai dari Bandar Purus hingga Tabing. Inilah pola penyebaran penduduk pesisir paling tua, yakni mengikuti garis pantai dan tepi sungai. Kita sebut saja pola migrasi warga Padang jilid 1.

Berbeda dengan daerah Kabupaten Kepulaluan Mentawai, Sumatera Barat. Penduduk asli Mentawai cenderung membuat pemukiman di pedalaman, menjauhi tepi pantai. Ini nampaknya semacam kearifan lokal untuk menghindari terjangan tsunami. Sebab, Mentawai sejak dahulu kala memang daerah langganan gempa dan tsunami.

Belakangan, terutama setelah heboh gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, dan gempa Padang tahun 2009, warga Padang mulai menjauhi tepi pantai karena takut ancaman tsunami. Banyak sekali orang menjual rumahnya di sekitar Purus, Tabing, Air Tawar sampai Pasir Jambak. Lalu pindah ke arah tepian kota, ke arah Barat, dekat bukit-bukit di seputaran By Pass, Lubuk Minturun, Airmanih (Air Manis), dan Lubuk Kilangan. Ini pola migrasi warga Padang jilid 2.

Jangan heran saat jam-jam sibuk, justru tepian kota yang acap macet. Sebut saja sepanjang jalan raya By Pass, Andalas, dan Kuranji. Sepuluh tahun lalu sulit membayangkan keadaan seperti ini. Dulu, jalan By Pass benar-benar bablas dan lengang sekalipun jam sibuk.

Akibat dari pola migrasi jilid 2, harga rumah dan tanah di sekitar tepi pantai anjlok drastis. Makanya tak heran banyak pengusaha dan pejabat berduit (duitnya dapat dari mana?) membeli tanah besar-besaran di sekitar Purus dan Pasir Jambak. Ada yang dibangunkan hotel atau tempat usaha lainnya. Mereka panen raya tanah harga murah.

Apa mau dikata. Menghindari bencana dari lautan, malah dapat dari pebukitan. Musim hujan berkepanjangan melahirkan dua ancaman bencana besar dari arah pebukitan sekitar tepian kota Padang, yakni longsor dan banjir bandang dari banyak sungai. Padang memang dikenal sebagai kota sungai, karena sangat banyak sungai membela kota ini. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun