Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengadilan Sesat terhadap Tokoh Syiah Sampang

14 Juli 2012   14:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:57 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13422729051978668224

[caption id="attachment_187821" align="aligncenter" width="620" caption="Ustadz Tajul Muluk (KOMPAS.com/TAUFIQURRAHMAN)"][/caption] Hakim Pengadilan Negeri Sampang, Madura, Jawa Timur, menjatuhkan vonis dua tahun terhadap Ustadz Tajul Muluk karena terbukti bersalah melakukan penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP, yakni menyebarkan ajaran sesat Syiah (Kamis, 12 Juli 2012). Vonis hakim terhadap Ustadz Tajul Muluk alias Murtado tersebut didasarkan pada alat bukti berupa keterangan saksi yang menyatakan Ustadz Tajul Muluk menyampaikan dakwah di depan umum bahwa Kitab Suci Al Quran tidak asli atau tidak original. Sejauh pemberitaan media massa bisa dinilai, bahwa semua tingkat proses hukum terhadap Ustadz Tajul Muluk, pada tataran konstitusi dapat dikategorikan sebagai inkonstitusional, dan pada tataran perundangan organik dapat dikategorikan sebagai peradilan sesat. Bukti minimal Dari segi bukti minimal saja, Ustadz Tajul Muluk harusnya dinyatakan bebas (vrijspraak). Sebab, satu alat bukti (saksi-saksi) belum bisa sebagai dasar untuk menjatuhkan vonis bersalah terhadap seorang terdakwa. Syarat minimal pembuktian menurut KUHAP adalah dua alat bukti plus keyakinan hakim. Alat bukti tersebut berupa keterangan saksi (minimal dua saksi), keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Ini cuma satu alat bukti (saksi). Untuk diketahui, keterangan terdakwa Ustadz Tajul Muluk sendiri sudah membantah semua dakwaan jaksa penuntut umum. Begitupun alat bukti petunjuk tidak bisa digunakan dalam perkara ini karena alat bukti petunjuk harus merupakan persesuaian fakta dari satu alat bukti dengan alat bukti yang lain (keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa),  sehingga hakim memperoleh petunjuk fakta hukum dari hubungan demikian. Ini tidak. Penerapan pasal Kesesatan berikutnya adalah penerapan Pasal 156a KUHP dalam kasus ini. Sebab, jika fakta yang hendak dijerat oleh Pasal 156a KUHP sebagaimana dimaksud jaksa dan majelis hakim adalah dakwaan yang menyatakan Kitab Suci Al Quran tidak asli atau tidak original, maka penerapan pasal demikian adalah keliru fatal. Pasal 156a KUHP sama sekali tidak mengatur dan karenanya tidak termasuk penistaan kitab suci. Pasal ini  sendiri berbunyi selengkapnya adalah sebagai berikut,

Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bahwa yang dimaksud "agama" dalam ketentuan Pasal 156a KUHP tidak mencakup penghinaan Tuhan (Godslatering atau blasphemy), penghinaan nabi, rasul, kitab suci, pemuka agama, lembaga agama, penyiaran atau penyebaran agama.Tidak ada redaksi demikian di dalam pasal di atas. (Bandingkan Supanto, Delik Agama, UNS Press, Surakarta, 2007, h. 101, 106, 186). Berbeda halnya dengan RUU KUHP (2004), yang belum berlaku karena sampai sekarang belum disahkan, telah mengatur jelas dan tegas delik agama mencakup penghinaan Tuhan, firman-firmanNya dan sifat-sifatNya (Pasal 337), nabi, rasul, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan (Pasal 338). Karena itu, harus diakui, bahwa penerapan Pasal 156a KUHP tersebut dibutuhkan penafsiran hakim. Hal ini terutama karena pasal bersangkutan adalah "pasal karet" atau dikenal sebagai pasal menabur kebencian (haatzaai delicten). Akan tetapi, kalaupun hakim menafsirkan unsur-unsur pasal terpenuhi, pertanyaannya, oleh fakta hukum yang mana? Sebab alat bukti minimal tidak terpenuhi. Bahkan, jikapun fakta yang didakwakan terbukti, dan unsur Pasal 156a KUHP terpenuhi semua, hakim tidak harus menafsirkan orang yang mendakwahkan Syiah sebagai penodaan agama. Karena perbedaan agama dan keyakinan dalam suatu agama dijamin konstitusi (Pasal 28E dan 29 UUD 1945). Ingat, UUD 1945 lebih tinggi tingkatannya dibandingkan KUHP. Hakim harus berpedoman pada ketentuan hukum yang lebih tinggi hirarkinya. Ironisnya, tema ini sebenarnya pelajaran dasar para mahasiswa strata satu fakultas hukum! Inkonstitusional Inkonstitusional dengan mengacu pada Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945. Kedua pasal ini menjamin kebebasan atau kemerdeaan setiap orang atau penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya itu. "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, ...dst," demikian bunyi Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu," lanjut Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Yang harus digarisbawahi dari ketentuan Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, namun sering diabaikan banyak orang, adalah bentuk terikat atau pronomina persona akhiran -nya. Bentuk terikat -nya merupakan pronomina benda yang menyatakan milik, pelaku, atau penerima (Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, h. 789). Dihubungkan pada kasus Ustadz Tajul Muluk, -nya yang dimaksud di sini tak lain tak bukan adalah Ustadz Tajul Muluk sendiri dan jamaahnya. Bukan umat reaksioner yang menentang Ustadz Tajul Muluk yang dijadikan patokan. Menjadikan umat mayoritas sebagai tolak ukur agama yang dijamin konstitusi jelas merupakan kesesatan-konstitusioal. Konstitusi tidak membatasi agama apa dan nama sekte agamanya apa. Konstitusi juga tidak memisahkan mayoritas dan minoritas dalam beragama. Semua sama dan sederajat di mata konstitusi. Ingat, -nya! Referensi berita:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun