Ini hari kedua anakku sekolah tahun pertama di sebuah sekolah dasar swasta yang cukup terkenal di kotaku. Kuperhatikan seragamnya. Benar-benar seragam. Sama persis dengan semua kawannya, baik dari segi model maupun warna. Sampai-sampai buku dan pensil pun seragam--sudah disediakan pihak sekolah.
Tentang penyeragaman seragam sekolah ini merupakan cerita klasik. Alasan penyeragaman selalu seputar ini: sebagai identitas pengenal sekolah dan supaya jurang kaya-miskin tidak nampak.
Dengan seragam itu semua siswa benar-benar seragam. Sampai-sampai imajinasi liarku menerawang...seandainya ada cetakan yang bisa membuat wajah dan tubuh anak-anak ini bisa diseragamkan juga barangkali anak-anak ini akan dimasukkan ke dalam cetakan itu. Keluar dari cetakan wajah anak-anak ini persis sama seperti kloningan.
Entah mengapa kaya-miskin harus ditutupi. Kaya-miskin adalah realitas. Mengapa harus mengingkari realitas.
Bukankah sudah ada mata pelajaran budi pekerti yang akan mengajarkan anak-anak berempati dan toleran. Lagi pula hanya pendidikan yang sesat saja yang membentuk pribadi suka memamerkan kekayaan orang tuanya. Hanya orang lemah yang menyandarkan kekuatan diri pada asesoris harta.
Sekarang tak ada yang tersisa di sekolah bagi promosi saling menghormati warna-warni perbedaan. Semua pada seragam: pakaian, kurikulum, bahkan perlakuan pada anak didik.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H