[caption id="attachment_186659" align="aligncenter" width="565" caption="Pengusaha Nasional sekaligus anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Siti Hartati Tjakra Murdaya Poo (tribunews.com) "][/caption] Pengusaha Nasional sekaligus Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Siti Hartati Tjakra Murdaya Poo telah dicegah ke luar negeri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pencegahan tersebut menyusul tertangkapnya petinggi PT Hardaya Inti Plantation (HIP), Yani Anshori, 26 Juni 2012 lalu, dalam dugaan suap sekitar Rp.3 miliar pada Bupati Buol Amran Batalipu terkait penerbitan hak guna usaha lahan perkebunan PT Cipta Cakra Murdaya dan PT HIP. Kedua PT ini milik Hartati Murdaya. Sebagaimana dinyatakan oleh pimpinan KPK Bambang Widjodjanto, pasca penangkapan Bupati Buol Amran Batalipu, KPK memastikan akan memeriksa Hartati (Kompas, 7/7). Sejauh ini Hartati berdalih bahwa uang miliaran tersebut bukan suap melainkan sumbangan. Media massa cetak dan elektronik luas memberitakan sanggahan Hartati tersebut. Dari sanggahan ini saja KPK bisa langsung bergerak cepat. Sebab, sumbangan kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara merupakan suap. Dikatakan, segala bentuk pemberian atau sumbangan (gratifikasi) kepada pengawai negeri sipil atau penyelenggara negara dianggap sebagai suap, vide Pasal 12B UU 20/2001 tentang Perubahan UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ironis, sebuah bantahan yang blunder. KPK hanya tinggal membuktikan keterkaitan pemberian sumbangan tersebut dengan Hartati Murdaya. Sejauh ini telah ada barang bukti berupa uang tunai. Ditambah keterangan tiga orang tersangka yang telah ditangkap (Anshori, Gundo Sudjono, dan Amran Batalipu), dimana mereka semua merupakan saksi satu sama lain, termasuk saksi untuk Hartati Murdaya kelak jika ia ditetapkan sebagai tersangka. Bila keterangan para tersangka tersebut berhasil mengungkap keterkaitan Hartati Murdaya dengan dugaan suap tersebut, maka posisi Hartati benar-benar di ujung tanduk. Sebab, untuk melengkapi syarat bukti minimal (dua alat bukti), KPK tinggal menyita surat-surat legalitas kedua PT milik Hartati tersebut di atas, berupa akta-akta pendirian dan perubahannya dan sebagainya, yang bisa membuktikan kedudukan Hartati dalam kedua PT tersebut. Sehingga terpenuhi syarat minimal dua alat bukti: minimal dua saksi + alat bukti surat. Dari surat-surat atau akta-akta PT tersebut akan kelihatan bagaimana prosedur pengambilan keputusan di kedua PT itu. Biasanya, untuk pengeluaran uang perusahaan diatas Rp.1 miliar (di beberapa perusahaan bahkan Rp.500 juta saja) wajib persetujuan direksi dan komisaris (biasanya adalah pemilik perusahaan). Dalam kasus ini uang yang disita KPK sampai sekitar Rp.3 miliar. Dengan demikian, kecil kemungkinan tanpa persetujuan direksi dan komisaris perseroan. Toh, Hartati sendiri sudah mengakui uang itu sebagai sumbangan (baca: suap, vide Pasal 12 B UU Tipikor). Sekalipun Hartati sudah membantah tidak terlibat urusan teknis di lapangan akan tetapi bagi hukum pembuktian, pengetahuan atau persetujuan Hartati sudah cukup untuk menenetapkan statusnya sebagai tersangka dalam delik korupsi penyertaan (deelneming), vide Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dan, jika sudah ditetapkan tersangka oleh KPK maka kecil kemungkinan bisa lolos. Karir politik kemungkinan besar tamat. Alur pembuktian kasus ini sangat simpel. Terutama dikarenakan tersangkanya tertangkap tangan dengan barang bukti uang tunai. Apresiasi buat KPK.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H