[caption id="attachment_184220" align="aligncenter" width="300" caption="Liberal Brain/blogs.telegraph.co.uk"][/caption] Pak Liberal tepekur sejenak. Ia baru saja mengalami tuduhan keji tak beradab. Kata si penuduh, Pak Liberal suka kebebasan-sebebas-bebasnya: zina bebas, judi bebas, mencuri bebas, beragama tak beragama bebas, memperkosa bebas, korupsi bebas. Kata si penuduh lagi, itulah tuduhan yang sesuai dengan namanya. Pak Liberal. Saat dituduh demikian, Pak Liberal diam saja. Sempat membela diri sedikit sampai akhirnya ia lebih memilih banyak diam. Dalam diamnya itu, Pak Liberal berpikir begini. Memang ada orang di negara demokratis berlandaskan supremasi hukum bisa bebas-sebebas-bebasnya? Semau-maunya saja? Mana mungkin. Setiap orang pasti dibatasi oleh hukum dalam bertindak. Sebebas-bebasnya orang, tidak bisa merampas kebebasan orang lain. Sebebas-bebasnya orang, tidak bisa seenaknya mengambil hak orang lain. Sebebas-bebasnya orang, tidak boleh memaksa orang lain untuk sama bebas dengan dirinya. Sebebas-bebasnya orang, tidak boleh memaksa orang lain sama dengan dirinya. Lalu, siapa orangnya yang seolah bisa bebas-sebebas-bebasnya memaksa orang lain supaya sepaham dengan dirinya, memaksa orang lain kapan perlu dengan senjata tajam dan pentungan, supaya orang lain menuruti kehendaknya? Siapa? Pak Liberal masih terus berdialog dengan dirinya sendiri. Ia minum teh susu di atas meja, yang sudah sejak sejam tadi belum disentuh, tentu sudah dingin. Minum seteguk, Pak Liberal berpikir lagi. Sedang asyik-asyiknya berpikir, tiba-tiba ia ingin makan pisang goreng. Dimakannya juga sebuah pisang goreng di atas meja, dikunyahnya dengan perlahan, kunyahan orang yang lagi berpikir. Dalam pikirannya, Pak Liberal mencoba mereka ulang apa yang dituduhkan orang-orang padanya. Ah, sudah, santai aja. Begitu pikirnya. Toh orang yang menuduh itu sangat jelas tak mengerti persoalan. Nama memang Pak Liberal, tapi pikiran fundamentalis. Apa salahnya. Yang lain ada juga sebaliknya, nama berbau fundamentalis tapi pikiran liberal. Lagian liberal apa, coba? Liberal itu sangat luas sekali pengertiannya: sebagai filsafat, sebagai ideologi politik, sebagai paham ekonomi, atau? Ia ingat liberalisme klasik dalam reformasi paham keagamaan. Ketika terjadi komersialisasi agama dan ketergantungan umat pada tokoh agama, muncul Martin Luther yang meneriakkan urgensi reformasi gereja (1577) yang menyulut kebebasan individu. Ia ingat juga liberalisme klasik dalam pemikiran sosial dan politik yang dimajukan oleh John Locke (1632 – 1704) dan Thomas Hobbes (1588 – 1679). Kedua pemikir ini mengajukan tesis konsepsi individualisme sebagai segala-galanya. Karena paham ini, maka Locke mengatakan bahwa negara tidak perlu campur tangan terlalu jauh pada kepentingan individu, negara cukup jadi semacam "penjaga malam" saja. Pikirannya juga melayang pada liberalisme klasik dalam konsep ekonomi-politik yang diajukan Adam Smith (1723-1790). Berdialog sebentar dalam pikiran, lalu ia hentikan begitu saja dialognya. Karena ia lebih tertarik pada poin, di titik mana kebebasan individu itu mendapat pijakan dalam realitas nyata? Orang liberal yang membunuh orang, akan ditangkap polisi. Orang fundamentalis yang main bom sembarangan, juga akan ditangkap polisi. Lah, apa bedanya? Srut! Kembali teh susu ia minum, kali ini sampai tandas ke dasar gelas.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H