Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Inkonsistensi Rezim Hukum KDRT

26 Juni 2012   08:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:31 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_184671" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi (shutterstock.com)"][/caption]

BENARKAH andai UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) diterapkan secara murni dan konsekuen, niscaya semua penjara di seantero negeri ini akan dipenuhi oleh para suami dan para istri yang melakukan KDRT pada pasangannya, pada anak, pembantu, kerabat, dan/atau orang yang tinggal serumah dengannya? Sebagian kalangan meyakini hal itu bila membaca sekilas UU PKDRT. Mengapa demikian?

Pasalnya, ruang lingkup KDRT tidak hanya bermakna penganiayaan fisik, yakni kekerasan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat pada fisik. Melainkan juga meliputi kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang; dan/atau kekerasan seksual, berupa pemaksaan hubungan seksual; dan/atau kekerasan ekonomi, berupa penelantaran. Asal ada hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara perbuatan dan dampak yang ditimbulkannya, seperti diuraikan di atas, maka KDRT dapat disematkan pada seseorang.

Pembuktiannya pun mudah saja. Terdakwa sudah dapat dianggap bersalah hanya dengan keterangan satu orang saksi korban dan ditambah dengan satu alat bukti lain (misalnya visum et repertum). Namanya juga kejahatan domestik, tentu susah mencari saksi, makanya UU PKDRT mempermudah persyaratan jumlah saksi. Tidak seperti lazimnya rezim hukum lain yang mensyaratkan saksi harus lebih dari satu orang (unus testis nullus testis).

Faktanya, siapa sih yang tidak pernah memukul suami/istri/anak/pembantu/orang yang tinggal serumah dengannya; atau kalau tidak pernah memukul, mungkin pernah berkata kasar (menghina, mencemeeh, memaki, mengancam) yang mengakibatkan terciderainya psikis; dan/atau memaksa berhubungan seksual pada istri/suami/orang yang tinggal serumah, padahal pasangannya sudah menolak baik halus maupun kasar karena capek dan berbagai alasan lainnya; dan/atau suami yang menelantarkan secara ekonomi tanggungannya, baik karena pelit, berpoligami, tidak bekerja (pengangguran), atau berbagai alasan lainnya?

Sayangnya, pengusutan terhadap kejahatan domestik (demostic violence) atauKDRT ini baru bisa dilakukan aparat kepolisian kalau ada pengaduan korban atau keluarganya. Dengan kata lain, rezim hukum KDRT menganut sistem delik aduan (klacht delict) dimana cabut aduan habis perkara (CAHP). Di sinilah letak kelainan, inkonsistensi, keganjilan, keanehan, penyimpangan dari yang biasa, atau anomali UU PKDRT.

Semestinya tindak pidana tidak mengenal status sosial pelaku atau korbannya. Siapapun pelakunya harus dihukum, siapapun ia, apakah orang berpangkat atau office boy, presiden, gubernur, direktur, suami atau istri. Semua harus dipidana. Pun tidak peduli siapa korbannya, pelaku harus tetap dihukum. Bukankah ada asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Dus, mengapa tiba-tiba ada perlakuan istimewa (prevelegie) manakala kejahatan dilakukan oleh suami/istri atau orang satu rumah.

Berdasarkan logika hukum di atas, sudah selayaknya kalau kejahatan KDRT diperlakukan sama dengan kejahatan pada umumnya. KDRT diubah jadi delik aduan relatif (bukan delik aduan absolut seperti saat ini), sehingga pencabutan pengaduan tidak otomatis menghentikan proses hukum alias kasusnya jalan terus. Atau, kapan perlu menjadi tindak pidana biasa yang tidak perlu disyaratkan adanya pengaduan, kepolisian dapat langsung bertindak pada saat mengetahui ada KDRT. Sebab, mensyaratkan pengaduan sama halnya dengan membirokratisasi penegakan hukum KDRT.

Toh, UU PKDRT sendiri sudah menegaskan bahwa KDRT merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan (Pasal 20 huruf b). Merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) dan bentuk diskriminasi yang harus dihapus (vide Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J dan Pasal 29 UUD 1945, sebagaimana dikutip pada bagian Mengingat UU PKDRT). Lah, mengapa begitu banyak aturan birokratisasi dalam penegakannya?!

Dimana pada saat yang sama UU justru memposisikan pengaduan kejahatan domestik secara istimewa. Akibatnya, pengungkapan kejahatan KDRT mengikuti pola gunung es, artinya yang tidak terungkap jauh lebih besar daripada yang diusut kepolisian, karena UU memang membuka peluang untuk itu. Umumnya KDRT diselesaikan di dalam tembok rumah, selesai secara damai, kekeluargaan, atau korban mencabut aduannya.

Karenanya patut dipertanyakan apa benar data Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar yang dilansir dalam sebuah seminar di Hotel Bumiminang belum lama ini (28/4/2007), bahwa jumlah KDRT di Sumbar selama kurun 2006 hanya 308 kasus, dan 38 kasus KDRT sampai April 2007. Kita pasti tidak percaya, namanya juga fenomena gunung es. Kalau terungkap semua niscaya penuh sesak semua penjara yang ada.

Sekali lagi penegak hukum belum bisa berharap. Jadi jangan heran kalau banyak kasus KDRT, apalagi yang melibatkan figur publik, bisa tiba-tiba lenyap ditelan bumi.

Pada sisi lain, pelik juga jika setiap kasus KDRT harus berujung penjara bagi pelakunya (biasanya suami/kepala keluarga) karena implikasinya luas. Antara lain berdampak pada kehidupan ekonomi keluarga, yang menjalar ke dampak-dampak susulan seperti sekolah anak, gizi keluarga, dsb yang potensial terganggu dengan dipenjaranya tulang punggung keluarga.

Bagaimana menurut rekan Kompasianer?.[]

Artikel terkait:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun