[caption id="attachment_184957" align="aligncenter" width="609" caption="Gedung KPK Sekarang (2.bp.blogspot.com)"][/caption] Di beberapa daerah Indonesia, termasuk kota Padang, masyarakat sipil gencar menyelenggarakan saweran koin untuk pembangunan gedung baru KPK. Sebagaimana ditulis di sini, saya menolak dan tidak berminat mengikuti acara demikian. Kali ini, saya mengajukan satu lagi alasan spesifik. Yaitu, bahwa saweran tersebut merupakan suap secara tidak langsung pada lembaga negara!
Pasal 12B UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(1) Setiap pemberian dalam arti luas (gratifikasi) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketetentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Penjelasan Pasal 12B ayat (1):
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan melalui sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Disebut suap secara tidak langsung karena konteks subjek hukum penerima gratifikasi suap dalam Pasal 12B UU Tipikor tersebut di atas adalah PNS dan Penyelenggara Negara. Contoh kongkritnya, jika memberikan uang Rp.10 juta pada pegawai KPK yang berstatus PNS, itu namanya suap. Atau, memberikan uang Rp.10 juta kepada Komisioner KPK (penyelenggara negara), itu juga suap. Sementara, 'saweran koin untuk KPK' bukan ditujukan pada PNS/staf dan Komisioner KPK melainkan pada institusi KPK. Namun harus dipahami bahwa penanggung jawab dari institusi KPK adalah para Komisioner KPK sebagai Pimpinan KPK, yang dalam hal ini secara tegas (explicit) telah menyetujui saweran demikian dengan catatan maksimal Rp.10 juta. Nilai Rp.10 juta ini saja sudah terkesan "menyiasati" Pasal 12B UU Tipikor di atas! Kemudian, syarat berikutnya disebut suap secara langsung jika pemberian (gratifikasi) tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari si penerima selaku PNS atau penyelenggara negara. Sedangkan 'saweran koin untuk KPK' tidak berhubungan secara langsung dengan jabatan di KPK dan tidak berlawanan secara langsung dengan kewajiban atau tugas dari Komisioner KPK dan staf KPK. Pasalnya, saweran tersebut ditujukan pada institusi atau bukan pada pribadi staf dan Komisioner KPK. Namun demikian, dengan telah disetujuinya saweran tersebut secara tegas (explicit) oleh Komisioner KPK, maka secara langsung para Komisioner bertanggung jawab secara hukum atas penerimaan saweran tersebut. Sebab, satu-satunya yang bisa menolak menerima saweran tersebut adalah para Komisioner KPK. Di titik inilah saweran demikian dimaksudkan suap secara tidak langsung. Para penyumbang memang tidak sedang berkasus dengan KPK. Tetapi siapa bisa menjamin esok harinya, bulan depan, dan tahun-tahun berikutnya? Institusi se-independen KPK perlu dijaga dari bias konflik kepentingan apalagi sampai benar-benar tersandera kepentingan tertentu diluar seharusnya menurut hukum. Jangankan terang-terangan menerima uang demikian, menerima bantuan payung saat hujan saja, secara etis, para Komisioner KPK tersebut harusnya menolak. Solusinya adalah seperti disampaikan secara "politis" oleh Anas Urbaningrum sesaat setelah diperiksa KPK, Rabu (27/6) kemaren. Kata Anas, sumber dana KPK dari APBN dan ia sudah memerintahkan Fraksi Demokrat menyetujui dana pembangunan gedung baru KPK.^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H