Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

UU KDRT Melindungi Maniak?

26 Juni 2012   05:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:31 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13406850141255406283

[caption id="attachment_184637" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi/shutterstock.com"][/caption] Suatu hari seorang sahabat curhat pada saya via surat elektronik. Nama dan tempat tak perlu saya sebutkan untuk melindungi privasi. Dan berhubung ada dimensi publik, ada baiknya saya ceritakan di sini pokok curhat dan saran saya terhadap ybs. Curhatnya lebih kurang berbunyi seperti ini,

Sebagai sesama perempuan sekaligus saudara, sangat kasihan melihat kakak saya. Ia sering dipukuli oleh kakak ipar saya. Dua hari yang lalu bahkan satu giginya copot karena kena jotos. Saya sudah beberapa kali menyarankan agar ia lapor polisi, tetapi ia selalu diam, terlihat tertekan dan pasrah. Bolehkan saya selaku keluarganya melapor ke polisi? Saya sudah baca sekilas UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, katanya harus ada pengaduan. Tapi mengapa polisi bisa menghentikan pengusutan bila pengaduan dicabut?

Kalau kakak yang mengadu maka akan selalu terbuka peluang untuk dicabut lagi pengaduannya, mengingat ia rentan diintimidasi atau dibujuk. Sangat berbeda dengan penganiayaan yang dilakukan oleh orang biasa (bukan dalam keluarga), seperti kasus penganiayaan yang dilakukan Ratu Felisa yang tidak bisa dicabut pengaduannya dan tetap diproses sekalipun sudah ada perdamaian. Apakah ini tidak konsisten atau malah melindungi maniak namanya? Apa yang harus kami lakukan? Terima kasih atas jawabannya.

Sedangkan tanggapan dan saran saya lebih kurang seperti di bawah ini--beberapa bagian telah saya edit dan tambah.  Pertama-tama saya menyampaikan keprihatinan atas kejadian yang menimpa kakaknya itu. Sebelum menjawab lebih lanjut saya sampaikan bagaimana kharakteristik hukum KDRT tersebut agar terbangun pemahaman awal yang utuh. Bahwa UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menentukan ada 4 (empat) kategori pokok KDRT, yaitu: (i) kekerasan fisik, (ii) kekerasan psikis, (iii) kekerasan seksual, dan (iv) penelantaran rumah tangga. Lingkup rumah tangga itu sendiri meliputi: (a) suami, istri dan anak; (b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, pesusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau (c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Memang UU PKDRT menggariskan bahwa proses hukum terhadap KDRT harus dengan pengaduan. Tanpa pengaduan, KDRT tidak dapat diproses secara pidana karena ia merupakan delik aduan absolut. Dalam pada itu saya menyampaikan juga persetujuan bahwa UU PKDRT tidak konsisten dengan asas hukum, setidaknya dalam dua hal: pertama, pengaduan oleh keluarga atau orang lain harus dengan surat kuasa dari korban (Pasal 26 UU PKDRT). Dalam kasus penganiayaan dalam keluarga, misalnya, sangat terasa kejanggalan UU PKDRT. Berbeda sekali dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 dst KUHP, pelapor tidak perlu pakai surat kuasa segala. Ini terkait pula dengan alasan berikut. Kedua, proses hukum KDRT harus diawali pengaduan. Yang lebih janggal, penganiayaan dalam keluarga juga harus diadukan dulu baru ada proses hukum. Padahal, dalam asas hukum dikatakan bahwa setiap orang dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Kongkritnya, atas dasar apa suami/istri yang melakukan penganiayaan tiba-tiba mendapat keistimewaan (prevelegi)? Baru bisa diproses bila ada pengaduan. Dan bisa dihentikan proses hukumnya bila pengaduan dicabut. Berbeda dengan penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 dst KUHP, pengaduan/laporan tidak bisa dicabut lagi dan kasus jalan terus. Idealnya, setiap tindak pidana tidak boleh mendiskriminasi pelaku apatah lagi korban. Presiden, gubernur, direktur, tukang sapu, suami atau istri; siapa saja yang menganiaya harus diperlakukan sama. Karena status suami/istri tidak menjadi pembenar menganiaya siapapun atau setidaknya tidak boleh menjadi alasan untuk diistimewakan. Jadi, bolehlah dikatakan kalau UU PKDRT cenderung menyuburkan maniak (psikopat) dalam keluarga. Namun demikian, bukan berarti anda boleh berkecil hati. Karena korban bisa meminta didampingi oleh advokat, pekerja sosial, atau relawan agar hak-haknya terlindungi maksimal. Sekarang posisi UU PKDRT ini janggal. Di satu sisi menyebut dirinya undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Pada sisi lain kurang pro penghapusan melainkan lebih pro keutuhan keluarga dan kepentingan lelaki. Logika mbelingnya, UU ini lebih memandang keutuhan rumah tangga, sekalipun dibangun di atas puing-puing akibat kekerasan, lebih penting dibandingkan pemberantasan kekerasan itu sendiri. Para maniak psikopat yang gemar menganiaya istri, anak dan pembantu sedikit banyak diutungkan oleh kelahiran UU PKDRT tersebut. Tinggal ancam dan mainkan jurus perang urat syarat supaya anggota keluarga tidak melapor. Beres.[] Artikel terkait:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun