Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Atas Hukum Ada Ormas

14 Juni 2012   13:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:59 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian organisasi kemasyarakatan (Ormas) belandaskan agama suka memaksakan kebenaran versi mereka kapan perlu dengan cara-cara melanggar hukum, seperti pembakaran, perusakan, pemukulan, razia dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan mana seharusnya merupakan domain penegak hukum. Ormas hanya dalam posisi menyalurkan aspirasi ke wakil rakyat di DPR/D dan mendesak aparat hukum. Bukan aksi main hakim sendiri demikian.

Pada titik ini, orang-orang menjadi lebih takut dengan ormas dibandingkan dengan aparat hukum. Ormas tidak prosedural seperti halnya aparat kepolisian. Ormas tinggal mengumpulkan massa lalu menggeruduk. Berbeda aparat hukum harus menerima laporan dulu, mengetik bukti laporan, menanyai pelapor, meminta alat bukti, memanggil saksi-saksi...baru bisa menetapkan langkah hukum apakah seseorang terlampor ditetapkan sebagai tersangka atau tidak. Rumit dengan prosedur.

Belum lagi jika mempertimbangkan oknum aparat acap meminta sejumlah uang kepada warga negara yang menuntut keadilan. Sementara bagi institusi bisnis yang telah ketat menerapkan standar tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) sulit untuk mengeluarkan uang buat menyuap aparat. Sebab, tiap rupiah harus dipertanggungjawabkan pada pemegang saham, akan diaudit dan seterusnya. Dari pada repot mending ikuti saja apa maunya ormas garis keras.

Sudah mengadu dan ditambah menyuap sejumlah uang pada oknum aparat tetap belum ada jaminan aduan akan ditindaklanjuti secara responsif. Dikatakan responsif; jika cukup bukti cepat menetapkan tersangka dan tersangkanya ditahan, proses demikian diinformasikan ke pihak pelapor. Sebaliknya, jika pengaduan tidak cukup bukti, aparat dengan responsif pula menginformasikan secara tertulis kepada pengadu alasan penghentian proses hukum dengan menyebutkan dasar hukumnya secara transparan.

Tidak adanya kepastian hukum dan lemahnya respon aparat membuat kepercayaan warga kepada pranata hukum begitu lemah. Orang baru mau berurusan dengan sistem hukum jika sudah sangat terpaksa, tidak ada jalan lain atau tak bisa mengelak lagi. Sebisa-bisanya menghindar.

Di tengah situasi demikian lahirlah ormas garis keras yang dengan responsif mewakili "suara" sebagian warga yang muak dengan kemaksiatan dan penodaan terhadap simbol-simbol yang dimuliakan dan disucikan. Ormas demikian begitu cepat bertindak nyaris tanpa prosedur yang beribet.

Apatah lagi jika tindakan ormas tersebut malah didukung aparat. Ormas makin menjadi-jadi dan merasa di atas angin, merasa di atas hukum atau bahkan merasa hukum itu sendiri. Simbiosis mutualisme terjadi. Ormas butuh aparat untuk membeking mereka.

Negara pun melalui aparatnya mungkin sekali butuh ormas vigilante tersebut untuk menjalankan kontra intelejen, guna menyingkirkan ideologi perjuangan kelas, membungkam kelompok intelektual liberal, menghukum bid'ah, dan menegakan ortodoksi...yang hasil akhirnya adalah kelompok rakyat yang jinak (docile) dan konservatif (A.M. Tony Supriatma, "Teror Sipil Sebagai Proxy").

Walaupun secara hukum tindakan ormas tersebut sebenarnya terlarang karena dipandang aksi main hakim sendiri, mendahului proses hukum atau bahkan menisbikan proses hukum, akan tetapi sebagian warga memandang sebaliknya. Selalu banyak warga yang mendukung aksi ormas garis keras tersebut. Warga tidak peduli dengan supremasi hukum, demokrasi, dan seterusnya. Yang warga tahu aspirasinya telah diteggakan dengan cara apapun.

Sebagian warga memandang sah-sah saja perbuatan ormas demikian. Pertanyaannya, jika kelompok X memandang bahwa langkah ormas tersebut keliru lalu kelompok X tersebut melakukan aksi penumpasan secara fisik pada ormas bersangkutan, bagaimana? Bisa-bisa terjadi kerusuhan horizontal. Perang saudara.

Negara surut ke era hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang menang: dia yang menetapkan yang benar atau yang salah; yang hak atau yang batil; dan dia pula yang menjadi polisi, jaksa dan hakim sekaligus. Hukum dianggap tidak ada. Hukum adalah kelompok mereka sendiri.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun