[caption id="attachment_182467" align="aligncenter" width="565" caption="Istri M Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni, ditahan KPK, di Jakarta, Rabu (13/6/2012). Neneng ditahan setelah buron sejak Agustus 2011, karena terkait korupsi PLTS do Kemenakertrans. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA "][/caption] Dikutip dari tribunnews.com, Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman mempertanyakan jilbab yang dipakai oleh istri mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat (PD) Muhamad Nazaruddin, NSW, waktu ditangkap dengan mudah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumahnya di bilangan Penjanten, Jakarta, Rabu (13/6). FPI menyorot kebiasaan tersangka yang tiba-tiba berjilbab saat berhadapan dengan hukum. Disebutkan pula contoh tersangka lain seperti supir maut Apriyani. Masih menurut FPI, berbeda halnya jika sebelum berurusan dengan hukum memang sudah pakai jilbab. Kita sama tahu bahwa foto-foto NSW yang tersebar selama 10 bulan pelariannya, termasuk yang dipasang di laman web interpol.org, tidak menggunakan jilbab.
[caption id="attachment_182468" align="aligncenter" width="565" caption="Kabag Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Boy Rafli Amar, menunjukkan foto buronan KPK, Neneng Sri Wahyuni, dari situs Interpol saat memberikan keterangan pers di kantor Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Minggu (21/8/2011). Menurut Boy, saat ini Mabes Polri telah mengirimkan red notice untuk Neneng Sri Wahyuni kepada Interpol dan sedang menunggu perkembangan dari Interpol. (tribunnews/herudin) "]
Penulis sendiri termasuk yang penasaran saat menghidupkan televisi dan bermaksud menonton berita penangkapan NSW. Seperti apa wajahnya tersangka korupsi yang merugikan keuangan negara Rp.2,2 miliar, pasca boron 10 bulan. Eh, tahunya wajahnya ditutupi jilbab dan penutup wajah sehingga sama sekali tak kelihatan wajah cantiknya.
Bagi publik yang menginginkan keterbukaan sebagai bentuk sanksi sosial bagi tersangka korupsi, keadaan demikian sangat menjengkelkan. Bahkan FPI menilai seolah bentuk pelecehan terhadap jilbab (baca: agama).
Namun demikian, harus diingat bahwa di banyak negara di dunia termasuk Indonesia, tersangka kejahatan apapun berhak untuk menutupi dirinya bahkan diam atau bungkam saat ditanyai aparat hukum. Hak untuk diam maupun menutupi wajah saat diliput media, dijamin hukum.
Secara hukum, penyebutan tersangka dalam pemberitaan, sesuai etika jurnalistik, dengan inisial nama yang bersangkutan. Akan tetapi sekarang etika jurnalistik demikian sulit ditegakkan di tengah keterbukaan dan kebebasan pers.
Implementasi dari asas praduga tak bersalah berupa penyebutan inisial nama dan membiarkan tersangka menutupi wajahnya pada intinya memperlihatkan bahwa penyidikan itu pada asasnya bersifat tertutup. Mengekspose berlebihan seorang tersangka bisa kontraproduktif jika nanti di pengadilan terdakwa ternyata dibebaskan hakim karena dianggap tidak bersalah.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H