SKB dan Instruksi Kepala Daerah tergolong ketetapan (beschikking).
Daya mengikat suatu ketetapan hanya meliputi subjek yang dituju, lebih khusus lagi subjek internal pemerintahan.
Jadi, secara yuridis normatif, SKB sebenarnya tidak mengikat warga kebanyakan. Yang bisa membatasi dan mengikat publik umum (warga) hanya instrumen hukum berbentuk UU dan Perda.
Dasar rasionalitasnya adalah, di negara hukum yang demokratis, pembebanan kewajiban atau pembatasan hak warga negara haruslah melalui persetujuan warga bersangkutan yang direpresentasikan oleh wakilnya di parlemen (DPR/D dan DPD, untuk konteks Indonesia).
Karena itulah, materi muatan sanksi pidana, misalnya, hanya bisa dilakukan oleh instrumen perundangan setingkat UU dan Perda (Pasal 15 UU No 12/2011).
Karena hanya UU dan Perda yang melalui mekanisme persetujuan warga yang direpresentasikan oleh wakilnya (di DPR/D/DPD).
Dasar hukum pendirian rumah ibadat
Sejauh ini belum ada UU yang khusus mengatur tata cara dan mekanisme administratif bagaimana mendirikan rumah ibadah.
Pemerintah setempat (Pemprov dan Pemkab/Pemko) biasanya hanya mengacu pada Peraturan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat tanggal 21 Maret 2006.
Berdasarkan Pasal 14 SKB tersebut di atas, pendirian rumah ibadat wajib memenuhi (1) persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan; dan (2) memenuhi persyaratan khusus, yakni:
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);