Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kasus Korupsi Seperti Penyakit Kusta

3 Mei 2012   08:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:47 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore di kota Padang. Udara terasa panas dan kering.

Saya ingat film lawas tapi lupa judulnya tentang pengidap penyakit kusta. Pengidap penyakit ini dikucilkan di sebuah lembah. Tak seorang pun yang berani mendekatinya, takut ketularan. Kecuali satu orang, yakni bintang utama film itu. Persis seperti itu pula kecenderungan perlakuan orang terhadap tersangka atau terdakwa kasus korupsi.

Orang akan cenderung mencerca tersangka atau terdakwa kasus korupsi. Langsung mengadilinya sebagai bersalah, perusak bangsa, melanggar HAM, cerime against humanity, extra ordinary crime, dan seterusnya.

Praduga tak bersalah sama sekali sulit dipahami. Bahwa orang wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hakim yang telah berkuatan hukum tetap bahwa ybs memang bersalah secara hukum. Tiba-tiba merasa berhak menjadi polisi, jaksa dan hakim sekaligus.

Yang dulu kawan akrab, sekarang tiba-tiba menjauh. Yang dulu kolega separtai, sekarang pura-pura orang asing. Yang dulu saling bantu-membantu, sekarang tiba-tiba menghilang. Hanya ibu, bapak, anak dan sahabat yang memberikan kasih tanpa syarat saja yang tetap mau menengok. Selebihnya menjauh. Takut ketularan. Takut keserempet.

Jika ada pengacara yang membela kasus korupsi langsung serta merta dianggap pembela koruptor, pembela yang bayar. Bahwa pengacara adalah penegak hukum sebagai penyeimbang, sebagai aktor checks and balances vis-a-vis berhadapan dengan jaksa, sama sekali sulit dipahami nalar publik. Begitupun norma etis bahwa pengacara tidak edentik atau tidak boleh disamakan dengan kliennya juga sulit dicerna nalar publik. Pengacar sama saja dengan kliennya. Kliennya korupsi, pengacaranya korupsi juga.

Anehnya, pandangan serupa di atas tidak berlaku bagi dokter. Walaupun profesi dokter hidup dari penyakit dan penderitaan pasiennya tapi orang jarang komplin dan menghakimi dokter. Orang tak lantas mengindentikan dokter dengan pasiennya. Jelas garis demarkasinya.

Nalar publik berharap setiap kasus korupsi yang masuk ke pengadilan terdakwanya dihukum, tidak boleh dibebaskan. Jika hakim membebaskan terdakwa korupsi maka hakim itu pro koruptor, tidak berpihak pada agenda pemberantasan korupsi. Nalar publik tidak bisa menerima bahwa, bagaimana jika dakwaan korupsi ternyata tidak terbukti di pengadilan apakah terdakwa tetap dihukum juga.

Sampai pada titik ini, jika nalar publik itu diikuti, sebenarnya ada solusi jitu. Setiap orang yang dicurigai korupsi langsung saja ditangkap, tak perlu disidik, tak perlu disidangkan, tak perlu didakwa, tidak perlu dibuktikan di pengadilan, langsung saja dijebloskan ke penjara. Beres. Mengapa repot-repot sidang segala.

Atau, kalaupun terdakwa mau disidangkan juga, cukup jaksa bacakan dakwaan lalu langsung jatuhkan putusan oleh hakim. Jadi, setiap terdakwa yang masuk ke pengadilan pasti dihukum. Tidak dikenal putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum.

Lembaga "pengadilan" dengan demikian telah berubah menjadi lembaga "penghukuman".

***

Nalar publik di atas mengasumsikan semua proses hukum dari semua jenjang mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan berjalan berintegritas, bersih, dan cakap. Tidak ada kasus pesanan bandar atau direkayasa. Juga tidak ada kasus yang lemah dasar hukum atau dipaksakan, semua kasus kuat dan memiliki bukti yang cukup.

***

Tersebutlah seorang aktivis LSM, seorang pejuang kemanusiaan, orang yang tulus tanpa pamrih, berjuang mengentaskan kemiskinan dan kebodohan di desanya tanpa dibayar sepeser pun. Karena ketenarannya maka banyak warga yang mendesaknya jadi anggota dewan (DPRD). Karena terus didesak, akhirnya ia bersedia maju. Pesaingnya adalah juragan yang cerdik dan licik. Pada babak penghitungan suara, si aktivis ini menang telak. Juragan lawannya terpurangah, malu tak alang kepalang. Pasalnya, sudah berpuluh tahun jurgan ini yang selalu menang langganan anggota dewan.

Hari pembalasan sang juragan pun tiba. Setelah si aktivis terpilih dan dilantik menduduki kursi dewan, anak panah serangan juragan diarahkan padanya. Dibuatlah rangkaian cerita dan skenario, dicarikan saksi-saksi, surat-surat yang nampak meyakinkan, lalu dikaranglah cerita bahwa si aktivis telah korupsi. Juragan dan pendukungnya melapor ke kantor pihak yang berwenang.

Karena tuduhannya korupsi dan supaya tidak dianggap pro koruptor, laporan itu pun ditindaklanjuti. Si aktivis yang sekarang sudah jadi anggota dewan ditetapkan sebagai tersangka. Proses ini pun berjalan.

Setelah ditetapkan tersangka barulah dihitung sangkaan kerugian keuangan negara. Hasil perhitunganya ternyata tidak ada kerugian keuangan negara. Si aktivis sama sekali tidak menikmati uang korupsi serupiah pun. Tapi semua sudah terlanjur, kasus sulit dihentikan karena tuduhannya korupsi. Kalaupun mau dibebaskan biarlah urusan hakim. Bisa ditebak akhirnya hakim membebaskan si aktivis.

Tapi kebebasan aktivis tidak memulihkan apapun. Ia sudah terlanjur ditahan selama hampir enam bulan, lah, bagaimana cara mengembalikan kebebasan orang yang sudah terlanjur dirampas?! Uangnya juga sudah banyak habis, sampai menjual rumah dan kendaraan sehari-hari demi membayar biaya-biaya resmi selama kasus berjalan hampir dua tahun lamanya. Bisakah uang si aktivis ini dikembalikan oleh aparat yang memprosesnya?!

***

Dalam pada itu, di tempat lain lagi. Ada kasus korupsi yang terdakwanya sudah terbukti di pengadilan menikmati uang negara, mencuri uang negara. Tak terbantahkan. Lebih satu miliar rupiah dikorupsinya. Ia pun sudah mengaku di depan hakim. Ia nampak memelas, begitupun barisan pengacaranya yang dibayar dengan honor yang jumlahnya diluar akal sehat.

Palu hakim akhirnya diketok. Tok! Si terdakwa divonis satu tahun dan enam bulan penjara, denda Rp.200 juta subsidair tiga bulan penjara, dengan uang pengganti tak sampai seperempat dari uang yang dikorupsinya. Dan, yang luar biasa, terdakwa banding!

Padang, 3 Mei 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun