Ada hal menarik saat menyaksikan drama penahanan Angelina Sondakh oleh KPK, Jum'at (27/4). Terlihat Angie cukup tenang bahkan sempat melempar senyum kepada para wartawan saat akan dibawa ke ruangan tahanan di lantai dasar gedung KPK. Memang sempat menitikan air mata sesampai di sel, namun Angie akhirnya bisa tertidur dengan pulas.
Berdasarkan pengamatan Penulis selama menangani perkara korupsi, ada berbagai macam alasan mengapa para tersangka dan terpidana kasus korupsi tetap tegar sekalipun dijebloskan ke penjara.
Pertama, tersangka/terpidana cenderung melakukan rasionalisasi atau pembenaran terhadap perbuatannya. Ini alasan paling umum. Merasa tidak bersalah. Kalaupun ada yang harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang disangkakan, maka itu orang lain. Bukan dirinya. Ia hanyalah bawahan, menjalankan perintah atasan, dibawah tekanan. Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Apalagi jika sangkaan kepada dirinya hanya turut serta (deelneming), vide Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Artinya, ybs bukan pelaku utama. Sekalipun hukum memandang pelaku utama dan pelaku turut serta sama saja pertanggungjawaban hukumnya.
Nazaruddin melakukan rasionalisasi bahwa yang bertanggung jawab dalam kasus yang didakwakan kepadanya adalah "Ketua Besar" alias Anas Urbaningrum. Ya, banyak sekali argumen hukum yang dilontarkannya.
Berbeda dengan Nazar, Angie cenderung lebih senyap. Setidaknya demikian yang nampak saat Angie menjadi saksi di Pengadilan Tipikor dalam kasus Nazar. Jawabannya selalu standar: lupa, tidak tahu, tidak ingat. Barangkali ia melakukan rasionalisasi senyap di dalam dirinya. Bisa saja ia meyakini bahwa kasusnya adalah serangan dari lawan politik.
Kedua, tersangka sama sekali tidak merasa bersalah. Alasan ini cukup sering terjadi. Banyak kasus korupsi lemah bukti-buktinya tapi tetap dipaksakan naik, terkadang kelemahan pemahaman hukum berperan di sini. Contoh, menjelang masa Pilkada umum terjadi para calonsaling lapor korupsi lawan politiknya.
Di Sumatera Barat, misalnya, sebut saja kasus Bupati Kabupaten Limapuluh Kota Alis Marajo dan Bupati Kabupaten Tanah Datar Masriadi Martunus. Keduanya dilaporkan kasus korupsi hanya beberapa minggu sebelum masa kampanye Pilkada tahun 2005. Walaupun keduanya kemudian tidak terbukti bersalah dan divonis bebas mulai dari tingkat Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung, namun manuver yang diduga kuat dilakukan oleh lawan politiknya tersebut, berhasil. Keduanya kalah tipis dari lawan politiknya.
Dalam kaitan kasus Wisma Atlet, agak kecil kemungkinan Anggie merasa sama sekali tidak bersalah jika melihat rangkaian persidangan kasus Nazaruddin. Indikasi ini terlihat dari percakapan Angie dengan Mindo Rosalina Manulang via BlackBerry Messanger yang kemudian mempopulerkan istilah "Apel Malang", "Apel Washington", dan "Ketua Besar", sekalipun percakapan ini telah dibantah Angie, namun dibenarkan oleh saksi Rosa yang nota bene dibawah sumpah, dan didukung pula dengan kesaksian Nazar yang juga dibawah sumpah dalam kasus Rosa, ditambah keterangan Nazar sebagai terdakwa.
Ketiga, perhatian tulus dari orang-orang yang dicintai. Mungkin sekali mental tersangka sudah jatuh, apalagi jika bukti-bukti tak terbantahkan. Namun demikian, dukungan keluarga dan orang-orang yang dicintai membuat tersangka tetap tegar.
Keempat, ikhlas. Tersangka yang telah ikhlas menerima keadaan cenderung tegar menghadapi proses hukum. Apalagi semua tersangka yang ditangani KPK pasti ditahan. Pada tingkat persidangan pun, kecil sekali kemungkinan bisa lolos dari hakim Pengadilan Tipikor.
Wajar jika Penasehat Hukum Angie, Teuku Nasrullah, menceritakan bahwa Angie telah pasrah dengan kasusnya. Pasrah tidak sama dengan ikhlas, tapi paling kurang sikap Angie demikian terbilang realistis. Nazaruddin dan Rosa sudah divonis bersalah dalam kasus yang sama, jadi kecil kemungkinan Anggie bisa lolos.
Memang, normatifnya bersalah atau tidak adalah urusan hakim. Jika perbuatan yang didakwakan tidak terbukti atau bukan merupakan tindak pidana dan diasumsikan sistem hukum berkerja dengan benar, maka putusan hakim pasti bebas. Andai pun kelak dipidana juga, terdakwa dapat melakukan upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK).
Dalam kasus-kasus pidana, kerangka hukumnya relatif sama. Pasalnya sama, ya, itu-itu juga. Tidak ada yang berubah. Yang menarik justru fakta-fakta manusiawi yang terjadi dalam kasus tersebut.
Maen tebak-tebakan, yuuuukkk.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H