Lawak hukum masih terus berlanjut. Setelah terdakwa divonis Mahkamah Agung maka, biasanya, dalam kasus-kasus yang mendapat sorotan luas masyarakat, jaksa penuntut umum yang tidak puas akan mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) terhadap putusan hakim Mahkamah Agung tersebut. Sedangkan sudah jelas hukum acara (KUHAP) menentukan bahwa PK merupakan haknya terpidana atau ahli warisnya (bukan haknya jaksa penununtut umum) (Pasal 263 KUHAP). Rasionalitasnya adalah, negara yang dalam hal ini diwakili oleh jaksa penuntut umum telah selesai diberi kesempatan oleh hukum untuk membuktikan perbuatan terdakwa di semua tingkat persidangan yang dibolehkan undang-undang.
Kita tidak hanya bicara kasus-kasus besar serupa kasus Antasari. Realitas di atas sudah jamak terjadi di mana-mana. Makanya peradilan sesat bukan hanya kasus Sum Kuning (1971), Sengkon dan Karta (1977), Muhamaad Siradjudin alias Pak De dalam kasus pembunuhan model cantik Dice Budimuljono (1987), aktivis buruh Marsinah (1994), wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin (1997), suami istri Risman-Rustin Lakoro (2001), Prita Mulya Sari (2010) dan banyak lagi sebagaimana dicatat dan dikompilasi oleh E.A. Pamungkas dalam bukunya Peradilan Sesat Membongkar Kesesatan Hukum di Indonesia (2010).
Peradilan sesat sesungguhnya bisa dilacak dengan mudah dari kejanggalan proses penyidikan, penuntutan, persidangan dan upaya hukum biasa atau luar biasa (banding, kasasi, peninjauan kembali). Dalam kasus serupa kasus Udin, Antasari dan Prita terindikasi kuat ada setan politik dan kapital bermain di dalam kasus itu. Kalau sudah begini, penulis hanya bisa bilang, wallahu alam.(*)