Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menyatakan bahwa ketentuan peninjauan kembali (PK) perkara pidana hanya boleh satu kali sebagai inkonstitusional. Putusan MK No 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 tersebut diberikan atas permohonan peninjauan kembali Pasal 268 Ayat (3) KUHAP terhadap UUD 1945 oleh pemohon terpidana pembunuhan Antasari Azhar dan keluarga.
Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Bandung sekaligus mantan hakim agung Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja menyebut putusan MK tersebut sebagai ngawur. "Ngawur itu...waduh...waduh...," kata Komariah tak habis pikir (detik.com, 7/3/2014). Prof Komariah khawatir putusan MK ini digunakan terpidana mati gembong narkoba dll lakukan manuver PK berkali-kali untuk menghindari eksekusi.
Praktik PK selama ini memang lebih condong "upaya putus asa" dan "untung-untungan" untuk terbebas dari jerat putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Kenyataannya, jarang sekali terdengar PK perkara pidana dikabulkan hakim. Bagi terpidana mati, PK sekalian upaya mengulur waktu eksekusi.
Nah, bagaimana dengan "nasib eksekusi" terpidana mati pasca putusan MK ini? Hal ini mengingat sekarang PK boleh dilakukan berulang-kali sehingga dikatakan tak ada kepastian waktu kapan eksekusi mati dapat dilakukan. Terpidana dapat mengajukan PK lagi dan lagi, soal alasan dan novum bisa diatur (dibuat-buat).
Hemat penulis, demikianlah kekeliruan cara pikir dan praktik hukum eksekusi terpidana mati di Indonesia selama ini, yang sumber masalahnya berasal dari "celah hukum" (kelemahan) dalam KUHAP itu sendiri. KUHAP tidak memberikan batasan waktu yang jelas dan pasti, kapan eksekusi terpidana mati dilakukan, pasca putusan berkekuatan hukum tetap disampaikan pada eksekutor (jaksa).
KUHAP (maupun RUU KUHAP, versi draf 2010) tidak memberikan batasan waktu yang pasti kapan waktu PK boleh diajukan. Hanya disebutkan PK dilakukan 1 (satu) kali saja. Tetapi kapan waktu pengajuan PK tersebut tak diberi batasan waktu yang jelas. Hal ini berakibat ketidakpastian waktu eksekusi terpidana mati, ini jika kerangka berpikirnya "PK menunda eksekusi". (Dalam RUU KUHAP, PK terpidana mati menangguhkan eksekusi).
Memang demikianlah keadaannya. Yang terjadi dalam praktik saat ini, pun, PK dijadikan alasan untuk menunda eksekusi. Sehingga jangan heran nasib terpidana mati bisa terkatung-katung selama puluhan tahun sebelum ia dibawa ke depan regu tembak. Pernah terjadi tiga orang terpidana mati di Sumbar, akhirnya, malah melarikan diri dan tak pernah ketemu hingga saat ini.
Padahal, aturan yang berlaku sudah jelas-jelas mengatakan bahwa PK tidak menunda eksekusi. "Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut," tegas Pasal 268 Ayat (1) KUHAP. Kenyataannya sekarang, PK menangguhkan eksekusi. Eksekutor (jaksa) akan menunggu putusan PK turun terlebih dahulu sebelum kepastian eksekusi atau tidak, diberikan.
Tentu saja keadaan tanpa kepastian hukum soal kapan waktu eksekusi terpidana mati demikian tak boleh dibiarkan. Tidak boleh terjadi terpidana mati terkatung-katung nasibnya hingga ajal menjemput di jeruji besi, tanpa kepastian kapan dieksekusi, gara-gara terpidana terus-terusan mengajukan PK. Di sinilah relevansi, bahwa ada saatnya kepastian hukum lebih utama dibandingkan perasaan keadilan (terdakwa/terpidana), demi tujuan terpenuhinya keadilan yang lebih luas.
Berhubung putusan MK sifatnya final dan mengikat (tidak bisa diubah lagi), maka "pintu hukum" yang bisa dilewati adalah dengan mengubah redaksi RUU KUHAP saat ini, disesuaikan sedemikian rupa dengan putusan MK (bahwa PK tak dibatasi berapa kali), akan tetapi dengan rentang waktu yang jelas kapan eksekusi dilakukan pasca putusan berkekuatan hukum tetap diberitahukan pada eksekutor, kecuali untuk terpidana mati.
Bila mengacu strik pada aturan yang berlaku saat ini (KUHAP); merupakan keuntungan terpidana mati, andai saja putusan PK yang membebaskannya turun sebelum eksekusi dilaksanakan. Sebaliknya, merupakan kerugian yang tak terhindarkan dan tak bisa dituntut, andai putusan PK yang membebaskan tersebut turun belakangan, setelah eksekusi mati dilaksanakan. Beginilah konsekuensi logis dari norma PK tidak menangguhkan eksekusi.
Dalam hubungan ini, pastilah sulit diterima akal sehat dan perasaan bila terjadi putusan PK yang membebaskan terpidana turunnya kemudian setelah terpidana dieksekusi mati. Bisa dibayangkan perasaan keluarga terpidana ketika mengetahui putusan PK membebaskan terpidana sedangkan si terpidananya sendiri sudah (terlanjur) dieksekusi di depan regu tembak. Karena itu, ketentuan PK tidak menangguhkan eksekusi sulit terus dipertahankan dalam praktik.
Pada sisi lain, tidak mungkin pula perkara terus berjalan tanpa ujung, tanpa akhir, terutama jika terpidana mati terus-menerus mengajukan PK. Harus ada keberanian pembentuk hukum memutus mata rantai tanpa akhir ini.
Lites finiri oportet, perkara hukum itu harus ada akhirnya. Demikian bunyi salah satu asas penting dalam hukum acara. Justice delayed justice denied, kata adagium hukum lain lagi, bahwa menunda-nunda keadilan (dilaksanakan) sama halnya dengan menolak keadilan. Karena itu, bolehlah PK tak dibatasi berapa kali, akan tetapi sifatnya tak menunda eksekusi, supaya perkara jelas akhirnya.
Harus diingat, bahwa keadilan dalam proses hukum pidana bukan hanya sepihak kata terdakwa/terpidana saja, melainkan resultan dari pendapat jaksa, terdakwa dan/atau penasehat hukumnya serta hakim berdasarkan konstruksi pembuktian di persidangan. Gambaran akhirnya terlihat dari putusan hakim.
(Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H