Dalam hubungan ini, pastilah sulit diterima akal sehat dan perasaan bila terjadi putusan PK yang membebaskan terpidana turunnya kemudian setelah terpidana dieksekusi mati. Bisa dibayangkan perasaan keluarga terpidana ketika mengetahui putusan PK membebaskan terpidana sedangkan si terpidananya sendiri sudah (terlanjur) dieksekusi di depan regu tembak. Karena itu, ketentuan PK tidak menangguhkan eksekusi sulit terus dipertahankan dalam praktik.
Pada sisi lain, tidak mungkin pula perkara terus berjalan tanpa ujung, tanpa akhir, terutama jika terpidana mati terus-menerus mengajukan PK. Harus ada keberanian pembentuk hukum memutus mata rantai tanpa akhir ini.
Lites finiri oportet, perkara hukum itu harus ada akhirnya. Demikian bunyi salah satu asas penting dalam hukum acara. Justice delayed justice denied, kata adagium hukum lain lagi, bahwa menunda-nunda keadilan (dilaksanakan) sama halnya dengan menolak keadilan. Karena itu, bolehlah PK tak dibatasi berapa kali, akan tetapi sifatnya tak menunda eksekusi, supaya perkara jelas akhirnya.
Harus diingat, bahwa keadilan dalam proses hukum pidana bukan hanya sepihak kata terdakwa/terpidana saja, melainkan resultan dari pendapat jaksa, terdakwa dan/atau penasehat hukumnya serta hakim berdasarkan konstruksi pembuktian di persidangan. Gambaran akhirnya terlihat dari putusan hakim.
(Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H