[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Kelompok gabungan dari Panwaslu dan lembaga swadaya masyarakat, menyatakan menolak prkatik politik uang dalam pelaksanaan Pemilukada DKI Jakarta, pada aksi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (24/6/2012). Baik memberi atau menerima uang dalam pelaksanaan kampanye pemilukada dianggap sebagai praktik korupsi. (KOMPAS/LASTI KURNIA)"][/caption] Selasa (8/4/2014) siang telepon genggam saya berbunyi tanda SMS masuk. Ternyata Abang saya dari kampung berkirim pesan singkat. "Saatnya rakyat jual suara...seratus ribu jadilah," tulisnya. Saya tahu SMS ini bernada bercanda, seperti kebiasaannya sejak lama. Namun ada juga unsur seriusnya. Di kampung (baru) saya, Sukamulya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, hal biasa saja warga menjual suaranya untuk pemilu legislatif. Ini sudah cerita biasa di kalangan warga. Waktu pilkada Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2010 lalu, warga juga menjual suaranya pada calon yang bersedia membayar. Harga pasaran suara di sana berkisar Rp50.000 s/d Rp100.000. Murah bukan? Waktu pileg untuk DPRD Kabupaten Bengkulu Utara di tahun-tahun sebelumnya juga demikian. Warga di kampung-kampung biasa menjual suaranya dengan nilai berkisar Rp50.000 s/d Rp100.000 kepada caleg yang mau membelinya. Pembelinya itu bisa berbentuk uang tunai atau barang-barang keperluan para petani. Desa Sukamulya merupakan daerah perkebunan sawit, kopi dan karet. Hampir semua warganya berprofesi sebagai petani, sebagian besar petani tradisional, dan sebagian kecil diantaranya bertani plasma dengan perusahaan-perusahaan perkebunan sawit di sana. Pada momen pilkada tahun 2010 beberapa warga pernah saya tanya mengapa mau menjual suara. Ternyata jawabannya terkesan cuek dan praktis sekali, yakni: kapan lagi kita mendapat uang dari kegiatan pemilu tiap lima tahun sekali. Dalam obrolan degan warga nampaknya ada kesadaran bahwa mereka hanya "dimanfaatkan" suaranya pada tiap pemilu. Dan mereka tidak mau hanya menjadi "korban". Kenyataannya pembangunan di Sukamulya memang merangkak sangat lamban. Berpuluh-puluh tahun daerah ini terisolir, jalan hanya berupa jalan setapak yang becek dan sebagian sangat licin hanya bisa dilalui pejalan kaki dan motor, tanpa listrik, tanpa telepon dan fasilitas publik lainnya. Baru lima tahun terakhir menjadi desa definitif dan sejak itu diberi "hadiah" jalan beraspal jelek ala kadarnya dengan kerikil bermunculan di sana-sini. Walaupun sebagian besar warganya hanya berprofesi petani, dengan tingkat pendidikan ala kadarnya, namun kecerdikan mereka pada tiap pemilu cukup pragmatis seperti terlihat dari fenomena jual-beli suara dalam pemilu tersebut. Pragmatisme kalangan politisi bertemu dengan sikap serupa dari warga. Perlu pendidikan politik dan antikorupsi yang benar untuk mengubah sikap masyarakat demikian. (Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H