Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Dilarang Belok Kiri!

12 April 2014   02:11 Diperbarui: 24 Januari 2018   19:22 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padang - Kamis (10/4/2014) sore sekitar pukul 16.00 Wib saya berkendara di Jalan Rasuna Said menuju Jalan Ki Mangunsarkoro, Padang. Di simpang empat lampu merah Jalan Rasuna Said-Ki Mangunsarkoro kendaraan tidak langsung saya belokkan ke kiri, ke Jalan Ki Mangunsarkoro, melainkan saya berhenti menunggu sampai lampu menyala hijau.

Tiba-tiba, polantas meminta saya menepikan kendaraan, gelagatnya mau menilang. Saya buka kaca jendela. "Selamat sore!" sapa polisi itu sambil menghormat. Setelah saya balas sapaannya, polantas itu menanyakan SIM dan surat kendaraan. Saya berikan SIM dan STNK. Polantas itu meminta saya pergi ke pos penjagaan. 

Di pos penjagaan, polantas lain lagi bertanya klasik: "Bapak tahu kesalahannya?" Saya bengong saja sebentar. Saya jawab, "Baiklah, tolong bantu saya jelaskan, kesalahan apa yang saya lakukan." 

Dengan lancar polantas itu menerangkan "kesalahan" saya. Katanya, di lajur kiri persimpangan lampu merah pengendara wajib langsung belok kiri, tidak boleh berhenti seperti saya lakukan. "Itulah kesalahan Bapak," katanya dengan nada meyakinkan. 

Kuperhatikan sekilas wajahnya (hmm, tak kenal), gerak bibir, dan nama di dadanya (tapi tak kelihatan karena ditutupi rompi polantas). 

"Bapak pernah sidang di pengadilan?" Ini pertanyaan klasik yang umum ditanyakan kepada para pelanggar aturan lalu lintas, lebih berkonotasi "intimidasi", tekanan psikologis untuk menyelesaikan pelanggaran secara "damai". 

"Oh, kebetulan itu pekerjaan saya," jawab saya santai. 

"Memang apa pekerjaan Bapak?" 

"Pengacara," jawab saya singkat. 

Polantas itu lantas ubah posisi duduknya. Air mukanya berubah sedikit. Terasa aura energi baru keluar dari tubuh polantas itu, lebih tepatnya aura ego mulai muncul. 

"Nah, Bapak kan pengacara, mestinya tahu aturan...bla bla bla," katanya berceramah. 

Setelah polantasnya diam sejenak, kini giliran saya bicara. "Begini, jika Saudara hendak menilang saya, silahkan saja itu kewenangan Saudara, tapi tolong dengar ini dulu," kata saya memasang muka serius. 

"Apa yang Saudara sampaikan tadi, semuanya salah," kata saya. "Itu aturan lalu lintas yang lama, UU No 14 Tahun 1992. Dalam UU LLAJ yang baru, yakni UU 22 Tahun 2009 Pasal 112 Ayat 3, mengatur bahwa di persimpangan lampu merah dilarang langsung belok kiri, kecuali ada tanda sebaliknya berupa tulisan "belok kiri jalan terus". Inilah bedanya dengan aturan lama: belok kiri jalan terus, kecuali ada tanda sebaliknya (tulisan "dilarang belok kiri")." Waktu itu sudah sore dan kebetulan belum solat Ashar, sehingga saya to the point saja.

"Coba Pak Polisi perhatikan," lanjut saya, "apakah di simpang lampu merah ini ada tanda berupa tulisan 'belok kiri jalan terus'?!" Tentu saja polantas itu diam saja karena memang tak ada rambu demikian.

Kemudian, saya jelaskan rasional di balik aturan LLAJ yang baru itu, mengapa di simpang lampu merah mengatur norma secara umum dilarang belok kiri, yakni: jika langsung belok kiri maka pengendara akan memakai badan jalan di sebelah kiri, yang juga akan dilalui oleh pengendara dari arah simpang berhadapan, sehingga akan terjadi overlaping yang berpotensi memacetkan jalan dan membahayakan pengendara.

Jelaslah bahwa aturan soal belok kiri atau belok kanan dalam UULAJ yang baru (UU No 22 Tahun 2009) lebih rasional dibandingkan UULAJ yang lama (UU No 14 Tahun 1992). Akhirnya, malah saya yang "ceramah".

Mungkin polantasnya pusing mendengar ceramah saya. Mendadak SIM dan STNK ia serahkan begitu saja. "Ini SIM dan STNK-nya silahkan Bapak melanjutkan perjalanan," katanya.

Tanpa pikir panjang SIM dan STNK saya ambil dari tangan polantas itu, salaman, lalu saya segera kembali ke kendaraan yang terpakir tak jauh dari pos penjagaan.

Pesan moral dari kisah ini: jangan sungkan untuk mendebat polisi jika merasa benar. Jika ragu, jangan pula sungkan untuk bertanya. Sebagai aparat dan manusia biasa, mungkin saja polantas belum tahu atau keliru memahami detail aturan lalu lintas. Jika memang salah, akui dan minta slip tilang warna biru untuk menyetor uang tilang ke bank, atau slip tilang warna merah jika merasa tak bersalah dan siap sidang di pengadilan. Hindari menyogok.(*)

(SUTOMO PAGUCI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun