Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Positioning Politik: Inikah Penyebab Kegagalan Ulil dan Zuhairi Misrawi?

26 April 2014   18:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:10 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang hakim "berbicara" melalui putusannya, maka seorang politisi cukup "berbicara" dengan tindakan atau kerja politiknya, senyata mungkin. Tidak perlu terlalu banyak mengungkapkan pemikiran yang membuat segmentasi politik mengecil dan menyulitkan positioning politik. Cukup berbuat dengan tindakan.

Jokowi, Ahok, Bung Hatta

Kita ambil contoh perbandingan seorang Jokowi, Ahok, dan Bung Hatta. Ketiga politisi ini bervisi politik relatif sama: sosialis, demokrat dan cenderung liberal.

Visi demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan hak asasi manusia (HAM) sangat kuat pada diri seorang Mohammad Hatta, yang kemudian mewarnai tindakan politiknya, baik saat penyusunan UUD 1945 maupun sesudahnya.

Diantaranya, terlihat saat Bung Hatta bermanuver "gagalkan" aspirasi politik aliran (Islam) yang didesakkan saat perancangan UUD bagi Indonesia merdeka. Saat itu, Bung Hatta mencoret tujuh kata berisi syariat Islam dalam Piagam Jakarta. Sehingga UUD 1945 yang berlaku saat ini tanpa tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Sejarah mencatat peranan Hatta tersebut.

Jokowi dan Ahok pun tak kalah "liberal"nya. Lihat saja seorang Jokowi sudah mencontohkan berpolitik inklusif sejak mencalon Walikota Solo hingga Gubernur DKI Jakarta, dengan cara menggaet pasangan dari kalangan non Islam dan minoritas. Segmentasi politiknya jadi meluas. Positioning politiknya bisa diterima di hampir semua kalangan.

Bersamaan dengan itu, Jokowi dan Ahok tak perlu berkoar-koar mencitrakan diri, menahbiskan diri, sebagai tokoh liberal. Keduanya cukup "berkata" melalui tindakan politik.

Bukan berarti tulisan ini mengharamkan segmentasi politik yang "ekslusif", sekalipun substansinya bisa saja inklusif. Maknanya adalah, demi memperluas kuadran keterpilihan, sehingga perlu merancang positioning politik yang tepat sejak awal, dengan "membaca" peta kultur pemilih di Indonesia.

Ini jika hendak terpilih dalam suatu kontestasi perebutan kekuasaan secara demokratis melalui pemilu. Kecuali, jika maksud awal berpolitik praktis bukan sekedar meraih kekuasaan melainkan idealisme politik semata, seperti dicontohkan kader-kader Partai Hijau di Jerman, Partai Internet di New Zealand, dll.

(Sutomo Paguci)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun