Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tuntutan Penghapusan Outsourcing Tak Realistis

3 Mei 2014   04:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:55 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tuntutan sekalangan buruh supaya pemerintah menghapus sistem alih daya atau outsourcing dinilai sebagai tuntutan yang tidak realistis. Outsourcing merupakan kebutuhan dunia usaha, apalagi dunia usaha modern, lalu diberi "baju hukum" oleh negara. Mustahil outsourcing ditiadakan sama sekali. Berikut ini contohnya.

1. Toko oleh-oleh khas Padang "Christine Hakim" tidak menjual semua produk buatannya sendiri. Sebagian produk kue-kue di-alihdaya-kan pembuatannya pada rekanan. Hasil produk rekanan ini kemudian dites standar mutunya dan jika lolos boleh memasukan kuenya ke toko Christine Hakim. Inilah yang disebut "outsourcing-produk".

Bukan itu saja. Christine Hakim juga membina para pemasok bahan mentah untuk kue-kue yang akan dibuatnya maupun yang akan dibuat oleh rekanan. Ini juga disebut "outsourcing-produk".

Bisa dibayangkan jika sistem outsourcing sama sekali dilarang. Artinya, semua rekanan pembuat kue harus menjadi karyawan tetap toko kue Christine Hakim, semua petani singkong dll juga harus menjadi karyawan tetap Christine Hakim. Tentu saja ini tak masuk akal.

2. Pabrik mobil seperti Toyota dalam membuat mobil tidak semua (100%) onderdil mobil dibuat oleh Toyota. Aki, radiator, rem, shockbreaker, kabel-kabel dll dibuat oleh perusahaan lain. Ini juga disebut "outsourcing-produk". Hal yang sama pada pabrikan mobil lain seperti Mercy, BWM, Mitsubishi, Suzuki, dll.

Bayangkan, apa yang terjadi jika sistem outsourcing dilarang sama sekali.

3. Pabrik telepon genggam (Samsung, LG, Nokia, dll) juga tak membuat semua bagian telepon genggam itu, chip-chip dibuat oleh pihak lain, prosesor, dll. Bayangkan pula, bagaimana jadinya dunia industri telepon genggam jika outsourcing dilarang sama sekali. Perusahaan begini juga mengalihdayakan pekerjaan-pekerjaan penunjang seperti kebersihan (ini disebut "outsourcing-jasa"), desain, dll.

4. Pabrik garmen yang memperkerjakan 4000 saja karyawan tentu akan sangat tak efisien jika harus menyediakan sendiri makanan buruhnya. Akan lebih efisien jika urusan katering begini diserahkan ke perusahaan lain. Ini juga disebut "outsourcing-produk".

5. Rumah sakit besar biasanya menyerahkan urusan kebersihan gedung, laundry dll ke pihak lain yang menyediakan jasa ahli membersihkan gedung...ini disebut "outsourcing-jasa". Jika rumah sakit itu cukup besar dan ribuan pasien tentu akan membuat sibuk di urusan penunjang dan rawan keteteran di urusan inti (penyediaan layanan kesehatan) jika outsourcing dilarang sama sekali.

6. Perusahaan pertambangan menyerahkan pada warga setempat memborong pembersihan lahan (tebas tebang) untuk jangka waktu pekerjaan sekitar tiga bulan. Selesai borongan ini, selesai juga pekerjaan warga tersebut. Pekerjaan selanjutnya urusan pekerjaan perusahaan: insinyur pertambangan, operator alat berat, sopir truk, dll.

Apa yang terjadi jika pemborongan pekerjaan penunjang di dunia pertambangan demikian terlarang sama sekali: semua penduduk desa sekitar tambang yang menebas semak-semak dan menebang pohon selama tiga bulan tersebut wajib dijadikan karyawan tetap.

7. Banyak lagi contoh-contoh lain. Silahkan jika Anda, Tuan-Tuan dan Puan-Puan, hendak menambahkan di tulisan terpisah atau di kolom komentar artikel ini. Contohnya sangat banyak. Intinya, sistem perekonomian modern bisa-bisa kolaps saking tak efisiennya jika sistem outsourcing sama sekali dilarang, sesuai tuntutan sebagian buruh itu.

Tentu saja sistem outsourcing berbeda dengan sistem kerja bukan outsourcing. Tidak bisa disamakan. Biar saja berbeda. Contoh biasa di lapangan: perusahaan penerima berhak menuntut penggantian pada perusahaan penyedia jika ada pekerja outsourcing yang kemudian tak cakap, melanggar tata tertib dsb. Ganti begitu saja. Inilah ciri khas outsourcing.

Soal apakah pekerja yang diganti tersebut di-PHK karena tidak ada lagi job, setelah diberhentikan di perusahaan penerima outsourcing, adalah permasalah lain lagi. Perusahaan penyedia jasa outsourcing yang besar mungkin saja melatih kembali pekerja yang ditarik tersebut, lalu memperkerjakan di tempat lain. Namun bisa juga sebaliknya, sama sekali tak ada job dan si pekerja di-PHK. Apa mau dikata.

Walau demikian konsep outsourcing jelas bukanlah perbudakan. Menyamakan outsourcing dengan perbudakan jelas sebuah kesimpulan yang salah kaprah.

Dalam semua kompleksitas pelaksanaan aturan alih daya tersebut pemerintah yang perlu tegas menegakkan regulasi dibidang outsourcing. Jika aturannya kurang jelas atau multitafsir ya diperbaiki. Selebihnya, tak mungkin menyamakan sistem outsourcing dengan non-outsourcing.

Karena itu, penolakan sistem outsourcing, menolak sama sekali, merupakan bentuk tuntutan yang tak masuk akal, irrasional, tak realistis. Lebih sebagai bentuk emosional, sikap awam, ikut-ikutan, bahkan bukan tak mungkin digerakkan oleh tangan-tangan politik.

Artikel terkait:


(Sutomo Paguci).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun