Sebagai praktisi hukum, saya termasuk yang heran dengan analisa sekalangan dosen hukum Unand yang membenarkan mutasi 52 pejabat Pemko Padang oleh Penjabat Sementara (Pjs) Walikota Padang, Erizal.
Pasalnya, aturan hukum sudah jelas dan tegas melarang penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah melakukan mutasi pegawai. Gamblang. Tidak ada multitafsir di sana. Akan tetapi aturan itu ditafsir-tafsirkan sedemikian rupa sehingga menjadi kabur.
Kutipan langsung nan panjang di bawah ini sebenarnya kurang cantik di tubuh tulisan, akan tetapi terpaksa saya lakukan. Kutipan Pasal 132A Ayat (1) PP 49/2008 ini menjelaskan pada kita apakah mutasi yang dilakukan Pjs Wako Padang Erizal ini sudah benar atau tidak.
"Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dilarang: a. melakukan mutasi pegawai; b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan d. membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya."
Larangan-larangan di atas hanya dikecualikan (artinya dibolehkan untuk dilakukan) apabila telah ada persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri (Ayat 2). Dalam kasus mutasi 52 pejabat Pemko Padang ini tidak ada persetujuan Mendagri demikian.
Nah, sekalangan dosen hukum dari Unand menggantungkan larangan-larangan dalam pasal di atas pada kondisi-kondisi tertentu, ada yang menyebut lima kondisi, ada yang menyebut empat kondisi: Suharizal menyebut lima kondisi, sedangkan Hengki Andora menyebut empat kondisi.
Padahal, sudah jelas dan gamblang bahwa kondisi yang disebutkan itu sifatnya kondisional-alternatif sebagaimana ditandai kata "atau" dalam redaksi pasal tersebut. Dengan kata lain, titik tekan redaksi Pasal 132A PP 49/2008 tersebut sudah jelas dan tegas, yakni: penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah.
Apapun yang disebutkan secara kondisional tersebut, baik empat kondisi atau lima kondisi seperti ditulis para pakar hukum Unand, tetap saja namanya "penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah". Dan penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah tersebut terikat dengan larangan melakukan mutasi pegawai dst itu.
Karena itu, frase "penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah" diletakkan di awal kalimat pasal karena ia merupakan subjek hukum dalam pasal bersangkutan. Sedangkan kondisi-kondisi lain dari subjek hukum yang sama sifatnya alternatif. Yang jelas, subjek hukumnya adalah penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah, apapun kondisinya.
Singkat kata, apapun kondisinya, tetap saja namanya penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah, sehingga terikat pada larangan-larangan yang disebutkan Pasal 132A PP 49/2008 tersebut.
Pjs Walikota Padang yang diangkat karena habisnya masa jabatan walikota yang lama, namanya tetap "penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah" dan terikat pada larangan Pasal 132A PP 49/2008 tersebut.