Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berburu Ikan Ajaib

18 Mei 2014   17:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:24 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_307520" align="aligncenter" width="600" caption="Sutomo Paguci - Pergi ngait mungkus ke Air Nganyau, Unit VI, Bengkulu Utara, Oktober 1997"][/caption]

Masih seri kenangan. Kali ini saya mau cerita sedikit tentang petualangan alam di masa lalu yang penuh kenangan. Berburu mungkus, si ikan ajaib. Bagaimana ajaibnya ikan ini tergambar dari cerita di bawah ini.

Mungkus (Sicyopterus Stimpsoni) atau orang Minangkabau menyebutnya mungkuih hanya mau hidup di air sungai yang masih bersih.

Ikan ini menempel di batu dengan sejenis cupak di atas perut pertengahan insang kiri dan kanan. Daya tempelnya kuat sekali. Saking kuatnya daya tempel di atas batu, ikan ini mampu merayap di air terjun atau di klutang (aliran air yang demikian deras).

Lumut-lumut di atas batu itulah sumber makanan mungkus. Ketika lumut itu tercemar oleh limbah manusia (tinja) di luar ambang batas toleransi dunia mungkus, apalagi oleh limbah beracun, maka, entah bagaimana ceritanya, mungkus ini akan menghilang entah ke mana.

[caption id="attachment_307522" align="aligncenter" width="500" caption="Pessel Tourism - Ikan mungkus (mungkuih, Minang)"]

1400383885926175975
1400383885926175975
[/caption]

[caption id="attachment_307525" align="aligncenter" width="500" caption="LiveScience - Penampakan ikan mungkus (Sicyopterus Stimpsoni)"]

14003839481738972919
14003839481738972919
[/caption]

Di Air Buat, Desa Margasakti, Kecamatan Padang Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, adalah contohnya. Dahulu sekali, era 1980-an, cukup banyak mungkus di sini. Waktu itu airnya masih relatif bersih. Belakangan, era 1990-an ke atas, ketika airnya mulai kotor karena limbah manusia (tinja, diterjen, dll) mungkus pun lenyap tak tau rimbanya.

Begitupun sungai-sungai di pinggiran Kota Padang. Cerita orang tua dahulu di sini masih banyak ikan mungkuih. Belakangan ketika sungai ini sudah kotor ikan mungkuih pun tak tampak lagi. Masih ditemui itupun di bagian hulu sungai Lubuk Minturun, Padang, dan beberapa sungai lain, namun populasinya makin berkurang karena ditangkap dengan alat setrum listrik.

Waktu masih tinggal di Bengkulu tahun 1984-1997 saya, keluarga, dan teman-teman biasa mencari ikan mungkus di sungai Air Lais di Padang Jaya, Air Nganyau di Giri Mulya Unit VI, dll. Kami orang-orang kampung gemar sekali dengan ikan ini.

Boleh dikatakan ikan mungkus merupakan ikan yang selalu menempel di ruang kenangan setiap lidah orang kampung. Sekali mencicipi cita rasa ikan ini otomatis akan menempel terus dalam kenangan sepanjang hayat. Ada kerinduan jika lama tak mencicipi ikan ini.

Rasanya bikin kangen: dagingnya yang putih, kenyal dan gurih, bau amisnya yang khas, dan juga tahinya yang enak dimakan. Benar! Setahuku inilah satu-satunya ikan yang seluruh tahinya enak dimakan. Isi perut ikan semah (sejenis ikan air tawar mirip ikan emas tapi lebih panjang) dan ikan emas juga enak dimakan, tapi tidak semuanya, ada bagian (tahi) yang jijik dimakan.

Tahi mungkus itu berwarna kecoklatan, dengan rasa sedikit pahit, tapi pahit yang ngangeni, seperti pahit kopi. Cara umum orang kampung memasak tahi ikan mungkus yakni dengan mencampurnya dengan nasi dingin, irisan cabe merah, kunyit, serai, jahe dll lalu dibungkus daun pisang dan dipepes dengan cara dipanggang di atas bara. Cara lain memasaknya yaitu dengan menggoreng campuran tahi ikan mungkus, nasi dan bumbu-bumbu tadi.

Berikut ini bagaimana seni menangkap ikan mungkus. Nah, caranya berbeda jauh dengan cara menangkap ikan kebanyakan, yang biasanya dengan dipancing, dijala, dipasang perangkap bubu, dll. Menangkap ikan mungkus tidak begitu.

Ikan mungkus tak mau makan umpan pancing apapun itu. Juga tak bisa (sulit) dijala karena ikan ini maunya menempel di batu di dalam air, jarang mengapung, sehingga sulit dijala.

[caption id="attachment_307528" align="aligncenter" width="600" caption="Sutomo Paguci - Pinggang pegal juga lama menunduk"]

1400384124373451728
1400384124373451728
[/caption]

[caption id="attachment_307529" align="aligncenter" width="600" caption="Sutomo Paguci - Itu adik lagi ngait mungkus. Ia lihai sekali!"]

14003842451172044894
14003842451172044894
[/caption]

Cara umum orang kampung menangkap ikan mungkus adalah dengan cara dikait pakai pengait khusus untuk itu, ditembak dengan kawat berujung tajam, disetrum dengan setruman kecil bertenaga aki motor (tidak direkomendasikan karena dapat memunahkan mungkus dan lagi pula rasa ikannya jadi hambar), atau diracun dengan potas (ini juga tak direkomendasikan karena selain tak sehat dikonsumsi juga rasa ikannya hambar).

Pengait ikan mungkus terbuat dari pancing yang diikatkan ke ujung gala atau biasan kecil panjang sekitar 1-2 meter, seperti nampak di foto. Zaman dahulu orang biasa membuat pengait ikan mungkus dari kawat ban mobil yang dilengkungkan mirip pancing tapi dengan tangkai yang panjang. Tangkai itulah, setelah dipasang tali, dipasangkan di ujung gala yang dilobangi khusus untuk itu.

Ikan mungkus yang menempel di batu akan dikait dengan pengait tsb. Ini ada pula seni dan alatnya. Butuh alat teropong dari kaca untuk melihat mungkus di dalam air. Orang zaman dahulu memakai pecahan kaca transparan untuk melihat mungkus di dalam air lalu mengaitnya.

Cukup lama juga saya berlatih mengait mungkus. Awalnya selalu gagal, terutama karena waktu mungkusnya dikait, otomatis badan ikutan terlempar ke belakang mengikuti irama mengait. Yang benar bandan (dan kepala) tetap di posisi semula (jongkok di air), sewaktu mungkus dikait.

Sampai sekarang pun saya merasa kurang berbakat mengait mungkus. Karena itu saya biasa menggunakan senapan dengan anak panah terbuat dari kawat payung yang ujungnya di runcingkan. Anak panah itu diikat dengan tali dari karet ban supaya tak melesat hilang waktu ditembakkan. Clep! Bunyi ketika ujungnya yang tajam mengenai mungkus yang sedang menempel di atas batu.

(Sutomo Paguci)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun