Indonesia adalah negara-negara agraris, tanah selalu bersinggungan langsung dengan masyarakat, khususnya petani di pedesaan  Karena saya tinggal di kota, untuk memperoleh pengalaman dengan bank tanah, maka saya melakukan wawancara dengan seorang petani di Cirebon, Jawa Barat.
Petani ini tidak mau terlalu diekspose, maka sebut saja, namanya Kang Asep.
Kalau dulu, petani masih banyak yang memiliki sawah. Perkembangan zaman membuat desrupsi, banyak tanah yang kemudian dimiliki orang kota, sebaiknya orang desa hanya berfungsi sebagai penggarap tanah atau pekerja saja. Jadi keuntungan terbesar dari hasil tanah justru mengalir ke kota, tidak dinikmati oleh si petani dan keluarganya.
Dengan demikian kesejahteraan sulit untuk tumbuh di pedesaan. Tetapi untunglah Pemerintah menyadari hal itu, maka melalui Badan Bank Tanah diupayakan cara-cara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Caranya melalui pengelolaan dan pengembangan tanah yang tidak terpakai atau tanah yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Asep seorang petani yang tinggal di sebuah desa di Cirebon yang memiliki tanah pertanian yang tidak terlalu luas. Asep memiliki cita-cita ingin meningkatkan produksi pangan. Padahal ia tidak memiliki tanah yang lebih luas dan subur.
Untunglah ada Bank Tanah Nasional, yang berperan mengelola dan mengembangkan tanah yang tidak terpakai atau belum dimanfaatkan secara optimal.
Asep menghubungi Bank Tanah Nasional dan meminta informasi tentang program yang ada dan syarat-syaratnya.
Asep tertarik dengan program pengembangan  ranah pertanian sesuai dengan cita-citanya untuk meningkatkan produksi pangan.
Akses tanah yang ditawarkan bervariasi, dari 0,5 hingga 10 ha, tergantung pada kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki petani. Petani dapat mengakses tanah hingga 1,5 tahun.