Semula melakukan impor dengan cara patungan, lalu mulai merintis bisnis sendiri.
Dalam bisnis online, bila menjual barang mahal, misal modal satu juta Rupiah, ingin laba 10% saja, sulit lakunya. Bila ingin laba besar, juallah barang yang harganya murah, misal modal lima ribu Rupiah , dijual sepuluh ribu Rupiah mudah. Lagi pula packingnya mudah, sehingga tidak kena omel kurir.
Dari pengalaman menjual sepatu yang cukup berhasil, memberinya keberanian untuk membuat sepatu sendiri. Tetapi syaratnya harus memiliki merek sendiri. Muncul ide merek "Ben Seht". Yang menurut pengakuannya adalah "Ben Sehat" (dari bahasa Jawa, yang terjemahannya adalah biar sehat).
Merek harus memiliki asosiasi yang tepat, merek "Ben Seht' asosiasi calon pembeli, produk ini adalah barang impor, padahal barang lokal.
Dengan memiliki merek sendiri, syarat utama adalah mendaftar hak paten. Termasuk membuat logo.
Iswadi juga nembuat diferensiasi. Kalau  kertas pembungkus sepatu di dalam kotak lazimnya polos, maka pada produknya kertas pembungkus diberinya kata-kata bermakna, semoga pembeli membacanya. Misal, jangan buang sampah sembarangan, kata-kata ini sangat mendukung kelestarian lingkungan.
Produknya saat ini masih bersifat uji pasar, belum dilincurkan ke pasar. Menurutnya, pemasaran harus fokus pada barangnya.
Tidak bisa meniru kesuksesan orang lain, karena manusia memiliki tejeki masing-masing.
Iswadi berharap bisnisnya bisa berhasil, sehingga ia bisa menulis buku bisnis untuk menginspirasi masyarakat. Kalaupun gagal, dianggap sebagai pengalaman hidup. Yang penting sudah pernah mencoba.
Iswadi menujukan segmen pasarnya pada orang yang mementingkan fungsi, bukan untuk gaya-gayaan.
Pernyataan penutupnya, "Jangan Berhenti Bermimpi".
Kasak kusuk peserta diskusi, Iswadi tentu saja tidak pusing dengan masalah modal kerja, karena tabungannya dari kerja di Roma pasti cukup besar, meski Iswadi berdalih harus melalui affiliate, bila belum memiliki modal kerja.
Bagaimana pandangan pembaca?