Indonesia sudah sejak ribuan tahun yang lalu, menjadi incaran pedagang-pedagang Eropa. Yang sempat mengeruk hasil bumi Indonesia, diantaranya Portugis, Inggris dan Belanda.
Belanda bahkan memiliki perusahaan dagang atau kongsi dagang di Hindia Timur yang didirikan tahun 1602 dan dioperasikan di Indonesia, yaitu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), dengan pusatnya di Batavia. Meski berbentuk perusahaan dagang, VOC memiliki kekuasaan ekonomi dan politik, bahkan pengadilan, setara dengan sebuah negara. VOC dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal. Sisa kantor Gubernur Jenderal masih dapat kita saksikan, sekarang digunakan sebagai Museum Sejarah Jakarta (dikenal sebagai Museum Fatahillah) di kawasan Kota Tua Jakarta. Namun VOC dinyatakan bangkrut pada tahun 1799.
Karena bumi Indonesia kaya dengan rempah-rempah, hal ini mempengaruhi masakan  atau kuliner tradisional Indonesia.
Beberapa kuliner tradisional yang kaya rempah, sebut saja coto Makassar, mie Aceh, soto Banjar, rawon, dan rendang.
Dari contoh diatas, terlihat bahwa penggunaan rempah-rempah tersebar di seluruh nusantara, baik di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Selain Indonesia, negara-negara Asia juga banyak menggunakan rempah-rempah pada kulinernya, seperti Thailand, India, dan Arab.
Rempah-rempah yang banyak digunakan untuk kuliner adalah adas, andaliman, cengkeh, daun pandan, jahe, kapulaga, kayu manis, kemiri, kencur, kunyit, lada hitam, lengkuas, pala, sereh, dan temu kunci.
Andaliman khususnya mudah didapati pada kuliner Batak. Di Jawa bahkan minuman juga banyak mengandung rempah, misal wedang uwuh, sendang ayu, dan bir pletok.
Meski bukan kelahiran Sumatera Barat, saya paling menyukai masakan berempah yang sudah mengglobal ini, yakni rendang.
Rendang menurut uda di restoran Padang yang memasaknya, menjelaskan bahwa terdapat sepuluh jenis rempah, seperti lada putih, lada hitam, kayu manis, cengkeh, pala, bunga lawang, ketumbar, adas manis, jinten, dan kapulaga.