Hal ini disebabkan nama marga laki-laki (suami) yang akan dipakai pada anak-anak yang terlahir dari pasangan dengan suami suku Batak.
Memang pada era modern ini, adat tidak selalu dojalankan secara kaku. Apalagi kini banyak warga Batak yang muslim, sehingga menerapkan hukum waris Islam.
Jadi, selama orang tua yang meninggal tidak membuat surat wasiat, yang berlaku adalah hukum positif negara, untuk non muslim, yang memiliki perhitungan sendiri. Lalu bisa menggunakan hukum agama (Islam), Â bagi yang muslim. Bagi non muslim bisa menggunakan hukum adat. Sebaiknya yang digunakan berdasar kesepakatan semua pihak.Karena adat tiap suku beda-beda.
Jalan tengah lainnya, kepada anak perempuan, orang tua sering memberikan perhiasan, sebagai tanda kasih. Meski secara matematik, pasti kalah besar bila divandingkan harta waris seperti tanah, dan investasi lainnya.
Bagi perempuan Batak menikah dengan laki-laki non Batak, masih bisa mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya.
Mengenai Tahta, lazimnya adat mewajibkan laki-laki lebih tinggi jabatan atau pangkatnya dari istri. Juga saudara tua sebaiknya memiliki jabatan ataunpangkat yang lebih tinggi.
Itulah sebabnya pada perusahaan keluarga, sering terjadi suami menjadi Presiden  Direktur, sedangkan istri hanya menjadi Direktur. Seorang kakak menjadi Presiden Direktur, adik-adiknya menjadi Direktur saja.
Pada dasarnya adat Batak tidak memenjarakan perempuan, perempuan bebas menempuh karier, tidak hanya mengasuh anak.
Banyak laki-laki yang bangga memiliki isteri pintar, karena keluarga akan terangkat statusnya.
Sedangkan terhadap wanita, adat Batak yang patriarkhi, sering dipandang melakukan diskrimasi terhadap perempuan.
Yang masih memegang teguh adat, biasanya yang masih tinggal di kampung atau desa. Yang sudah tinggal di kota sudah bisa menerima perubahan.