Naik bus lagi, kami menyusuri pusat kuliner yang ramai di malam hari. Melalui penjara wanita, Taman Burung, dan Tugu Adiyasa, menuju Kawasan Kuliner Laksa Tangerang Laksa Tangerang adalah mie yang disiram kuah laksa, disantap dengan ayam atau telur dalam keadaan hangat dan ditaburi serundeng. Ada sekitar 8 gerai penjual laksa, tetapi yang buka pada hari Minggu hanya 5 gerai. Kami sempat mencicipi kuliner khas Tangerang ini, yang konon dipengaruhi budaya Tionghoa.
Dari Kawasab Kuliner Laksa Tangerang, kami diantar menuju Kampung Bekelir dengan melewati Taman Gajah, yang gajahnya terbuat dari daur ulang ban. Kampung ini semula bernama Babakan, sejak disponsori pabrik cat, jalanannya berupa conblock di cat warna warni. Sayang sekali sejak ada pandemi kondisi Kampung Bekelir kusam karena cat tidak diperbarui. Selain jalanan berwarna, juga banyak lukisan mural. Agar wisatawan betah berlama-lama disini, sebaiknya warga dilatih menjadi UMKM untuk menjajakan kuliner khas atau minuman kekinian.
Sebelum waktu sholat dzuhur, kami sudah kembali lagi ke Taman Elektrik, sehingga sebagian peserta bisa melaksanakan sholat di masjid.
Selama perjalanan, bus wisata yang dilengkapi fasilitas karaoke ini memutar lagu keroncong modern Tangerang. Karena dari peserta tidak asa yang berminat menyanyi.
Upaya kota Tangerang  masih dinilai setengah hati. Daripada menambah destinasi wisata yang kurang hips, sebaiknya kuliner Pasar Lama, klenteng Boen Tek Bio, masjid Kali Pasir, Museum Benteng, dan  Cisadane Walk lebih ditonjolkan sehingga tetap menjadi ikon wisata bagi kota Tangerang.
Yuk, wisata keliling kota Tangerang dengan bus Jawara.