Saat sekolah, kuliah, maupun setelah bekerja, saya sering memanfaatkan waktu luang dengan menempuh pendidikan non formal.
Selain untuk menambah skill dan kemampuan, juga untuk memenuhi persyaratan pendidikan. Contohnya, saat itu ikut kursus mengetik 10 jari karena menjadi pra syarat lulus SMA. Harus memiliki sertifikat pendidikan non formal, entah montir, memasak, pembukuan, dan saya memilih mengetik.
Saya juga pernah mengikuti pendidikan non formal, dari bahasa Inggris, elektronika, hingga manajemen.
Khusus manajemen, dengan alasan beaya kuliah MBA masih amat mahal kala itu. Melalui kursus manajemen yang dikelola oleh salah satu lembaga pendidikan tinggi manajemen yang banyak menelurkan MBA bergengsi, maka saya mampu memiliki pengetahuan manajemen yang mumpuni, .meski tidak bergelar MBA.
Dari beberapa pendidikan non formal yang pernah diikuti, semuanya memang terdaftar di Kemendiknas. Namun sepertinya, tidak semua pendidikan non formal diawasi dengan baik, kualitas kurikullum dan keluaran yang dihasilkan.
Ditengarai, banyak pendidikan non formal yang didirikan untuk bisnis mencari cuan semata. Saya pernah mengajar pada sebuah pendidikan non formal di bidang komputer untuk sekretaris, ternyata kurikulum yang diajarkan tidak pernah ditinjau oleh Kenendiknas atau Dinas Pendidikan. Jadi, kurikulum hanya berdasar inisiatif pengajarnya saja.
Beberapa kursus bahasa asing, malahan hanya memungut uang pendaftaran dan uang kursus saja, sedangkan kurikulum diserahkan pada pengajarnya. Maka untuk promosi agar pendidikan non formal ramai, direkrutlah orang asing. Ternyata bukan yang memiliki ijasah atau kemampuan mengajar bahasa asing, hanya turis yang masuk kelas. Jadi, tiap minggu, pengajar bisa berganti, karena visa turisnya sudah habis, sehingga harus kembali ke negerinya.
Agar pendidikan non formal benar-benar bermanfaat, Kemendiknas atau Dinas Pendidikan wajib melakukan pengawasan yang melekat. Selalu mengevaluasi kurikulum, bila perlu mengawasi secara langsung saat pengajar bertugas.Â
Lalu evaluasi pula hasil keluarannya. Pendidikan non formal yang berkualitas, perlu didukung, sebaliknya pendidikan non formal yang sifatnya petualang, harus diperingatkan, serta ditutup bila tidak mengindahkan teguran.
Pendidikan non formal yang berkualitas tetap diperlukan, selama beaya pendidikan formal masih mahal. Memang bagi mereka yang ingin menjadi dosen, wajib menempuh pendidikan formal.