Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengelola Stress

21 Juni 2024   10:00 Diperbarui: 21 Juni 2024   10:02 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dalam rutinitas bekerja kita acap kali memperoleh tekanan dari pimpinan. Misal seorang guru harus mengajar lebih baik, agar siswa yang memperoleh nilai merah lebih sedikit. Seorajg tenaga penjual (sales) merasa target penjualan yang dibebankan padanya terlalu tinggi, sehingga sulit dicapai.

Kita terus dipacu sehingga sering merasa terpojok. Tekanan yang diberikan sekali-kali bisa menjadi pemicu semangat, namun bila dilakukan berkali-kali dapat menimbulkan stress.

Karena kita diminta lebih hebat dari yang lain. Dan menjadi karyawan luar biasa itu tingkat stressnya tinggi sekali.

Banyak tekanan lainnya, misal orang tua yang mendorong anaknya agar selalu menjadi juara kelas, atau masuk peringkat 3 besar di kelas. Sentilan tetangga, umur sudah hampir 40 tahun, kok masih ngontrak atau umur sudah kepala tiga kok belum menikah. Ukuran sukses di kalangan komunitas, sudah bekerja sekian lama kok belum kaya juga.

Banyak hal-hal yang membuat orang menjadi stress, karena lingkungan tidak memiliki tolok ukur yang jelas.

Padahal bila kita mau mengevaluasi secara jujur, si A bisa punya rumah pada usia 40 tahun, karena orang tuanya orang kaya, si B sudah menjadi manager pada usia 25 tahun karena orang tuanya memiliki perusahaan. Waktu tidak bisa dijadikan tolok ukur. Si C yang anak pegawai rendahan baru menjadi manager pada usia 30 tahun. Atau si D anak pegawai rendah baru bisa nembeli rumah pada usia 40 tahun, tetapi harus kredit melaui BTN.  Hal ini bukan berarti si B lebih pintar daripada  si C. Atau si A lebih sukses daripada si D. Lingkungan yang membuat kondisi mereka berbeda.

Kalau kita mau jujur, si C dan si D mestinya lebih hebat, karena mereka berangkat dari bawah, beda dengan si A dan si B yang mendapatkan previlege dari orang tuanya.

Jadi, seseorang harus mampu mengelola tingkat stress berdasarkan dirinya sendiri. Jangan membandingkan dengan orang lain yang kondisinya berbeda.

Jarena tiap orang memiliki nasib berbeda, masing-masing memiliki petualangan hidup yang berbeda meski berasal dari sekolah yang sama. Maka pada saat reuni, bercanda sajalah, mengingat masa remaja yang menyenangkan, tetapi jangan saling membandingkan jabatan dan kekayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun