Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menentukan UMP/UMK Kawasan Wisata

19 Juni 2024   15:09 Diperbarui: 19 Juni 2024   15:20 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Labuhan Bajo ( sumber gambar: nu.or.id)

Sudah menjadi rahasia umum, harga kebutuhan pokok maupun kebutuhan lainnya di kawasan wisata pasti lebih tinggi.

Biasanya warga beranggapan yang datang adalah wisatawan pasti orang berduit, apalagi wisatawan global.

Nah, sudahkah kita memperhatikan UMP / UMK (Upah Minimum Provinsi / Upah Minimum Kabupaten / Kota) di kawasan wisata di Indonesia? Bagaimana cara menghitung UMP / UMK ? Tampaknya perhitungan UMP / UMK lebih condong ke industri pabrikan,bukan daerah wisata. Padahal daerah wisata juga termasuk industri, meski bukan pabrikan.

Coba kita melihat UMK di Labuhan Bajo, NTT pada tahun 2024 besarnya  Rp. 2.186.826,- untuk mudahnya kita bulatkan saja 2,2 juta Rupiah.

Kalau kita bandingkan dengan provinsi Bali yang sama-sama daerah wisata tahun 2024 adalah Rp. 2.813.672,- atau 2,8 juta Rupiah.

Bila kita bandingkan dengan kawasan wisata di pulau Jawa, misal Yogyakarta UMK sekitar 2,5 juta Rupiah. Kenapa UMP / UMK daerah wisata justru kecil ? Padahal kebutuhan hidup tinggi.

Kenapa harus berbeda 600 ribu Rupiah ? Padahal warga lokal Labuhan Bajo bila harus hidup di tanah kelahirannya, harus membelajakan uang hasil upahnya berdasar harga kawasan wisata.

Apakah warga lokal Labuhan Bajo tidak boleh menabung? Sehingga upah habis untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Akibatnya banyak warga lokal Labuhan Bajo yang terpaksa tidak membangun daerahnya, tetapi pergi merantau. Ke Bali misalnya yang UMP-nya lebih tinggi 600 ribu Rupiah, atau ke Jakarta yang lebih tinggi 2,8 juta Rupiah.

Memang beaya hidup di Jakarta lebih besar daripada Bali dan Labuhan Bajo. Tetapi seharusnya beaya hidup antara Bali dan Labuhan Bajo tidak berbeda terlalu jauh.

Sebagai ilustrasi sederhana, harga satu kotak mie cepat saji di Labuhan Bajo pasti lebih mahal daripada Bali, karena ada tambahan beaya transportasi.

Dampak yang lebih luas seakan-akan warga lokal tidak bersedia membangun daerahnya. Dan dampak lanjutannya, Labuhan Bajo terpaksa merekrut tenaga kerja asing atau tenaga kerja dari luar daerah dengan upah lebih tinggi.

Tampaknya masalah UMP / UMK belum mengemuka, karena karyawan di sektor wisata masih mendapatkan pembagian service charge. Namun bila tidak diperhatikan dapat menjadi bom waktu, yang setiap saat bisa meledak.

Mari kita berhitung lebih bijak, agar warga lokal bisa ikut membangun daerahnya sendiri.
 
Bila warga lokal meninggalkan daerahnya siapa yang menikmati kue / hasil wisata atau pertumbuhan ekonominya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun