Sejak lama filosofi Jawa mengenal Moh limo (Ma-lima), yaitu lima Ma yang sebaiknya dihindari atau pantangan bagi  manusia, khususnya laki-laki, yaitu Madon, Maling, Mabuk atau Minum minuman beralkohol, Madat, dan Main (judi).
Maraknya judi online makin meresahkan masyarakat. Selain judi adalah salah satu perbuatan yang dilarang oleh agama manapun, judi biasanya marak di kalangan pengangguran.
Orang yang tidak bekerja atau penghasilannya pas-pasan, senantiasa bermimpi menjadi kaya dalam waktu singkat. Nah, cara yang ditempuh adalah judi, yang selalu dianggap mampu mendatangkan kemenangan dalam jumlah besar dan cepat.
Bagi orang kaya, judi tidak terlalu menjadi masalah. Karena bila kalah, masih ada pemasukan. Berbeda dengan pengangguran  yang membuat makin miskin dan terlibat hutang.
Padahal semua orang tahu, secara logika, saat main judi yang menang adalah bandar. Jadi pemain mingkin menang pada awalnya untuk menarik minat, dan pada akhirnya akan kalah dan kalah terus.
Kasus judi sudah menjadi legenda, baik judi tingkat bawah, seperti main kartu, dadu, tebakan angka nomor mobil yang lewat ganjil atau genap, lotere buntut, hingga judi kelas atas, seperti kasino, tidak pernah membuat orang menjadi kaya.
Bagi pengangguran kekalahan akan memperparah keuangan keluarga, karena menguras tabungan, bahkan merecoki keuangan keluarga, isteri, saudara, orang tua, mertua, bahkan teman.
Dalih awalnya berhutang untuk makan, tapi kalau tidak diberikan akhirnya terjerat pinjol ilegal. Karena pinjol illegal yang paling mudah dan cepat memberikan pinjaman. Dampaknya bila hutang tak terbayar, seluruh keluarga dan teman ikut kena teror karena nomor ponsel pihak terkait telah dimiliki penagih hutang.
Judi adalah perbuatan yang mencandu. Seseorang yang telah terlibat judi akan sulit berhenti. Dikatakan mencandu karena dampak psikologisnya  membuat orang kecanduan alias tidak bisa berhenti, seperti orang yang mengisap candu, mengkonsumsi narkoba, atau melihat film / gambar porno.
Kebiasaaan ini akan berada pada syaraf otak yang menimbulkan kepuasan bila dilakukan, sebaliknya akan merasa resah atau gelisah bila tidak dilakukan.
Seorang penjudi akan tega meminta bahkan mencuri uang dari keluarga atau temannya. Yang penting bagi mereka ada uang untuk modal berjudi. Jadi, bila ada seorang pejabat yang mengusulkan korban judi online bisa memperoleh bansos adalah hal yang kurang tepat. Karena bansos itu tidak akan digunakan untuk kesejahteraan keluarganya, malahan dijadikan modal untuk main judi lagi. Bansos ini seolah menjadi amunisi baru untuk berjudi di kala dia sudah kehabisan uang.
Belajar dari kasus situs porno yang bisa dicekal oleh Kominfo, meski masih bisa bocor bila menggunalan VPN, adalah sangat tepat untuk memblokir situs-situs judi online, tidak hanya X, toh tidak semua penjudi online menggunakan VPN.
Atau, bila judi online tidak dapat diblokir secara teknologi, buka saja pusat perjudian resmi seperti kasino. Namun dengan pembatasan usia, dan warga negara, paling tidak hasilnya masih bermanfaat, bisa menjadi pemasukan bagi Pemerintah.
Judi adalah aktifitas yang sudah ada sejak lama, mungkin setua prostitusi, pelarangan tidak akan bisa menghilangkannya. Paling hanya bisa
mengurangi.
Judi online masih memerlukan gawai, sementara hasrat untuk berjudi bisa dilakukan dimanapun, misalnya dalam adu ayam, bila judi online diberantas dengan memblokir situs X, mereka toh bisa berjudi dengan cara lain. Karena banyak cara untuk berjudi. Sedang berolah raga saja, bisa berjudi, lihat saja di lapangan golf, bulu tangkis atau tenis.
Cara yang paling mujarab adalah memperbaiki mental masyarakat. Karena indonesia adalah negara yang masyarakatnya ber Tuhan, sebaiknya semua tokoh agama ikut mengingatkan umatnya agar menjauhi judi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H