Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Tinggalkan Desa Demi Jakarta

24 April 2024   10:00 Diperbarui: 24 April 2024   10:08 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakarta  (sumber gambar: flip.id)


Sudah bertahun-tahun, momen Lebaran menjadi batu penjuru meledaknya urbanisasi ke Jakarta. Penyebabnya sudah dapat diduga gara-gara pemudik dari Jakata yang flexing di desanya. Bisa berupa naik mobil atau sepeda motor baru, memakai baju mahal dan gawai keluaran terbaru, atau oleh-oleh ke keluarga berupa peralatan elektronik mutakhir. Simbol-simbol ini segera saja menjadi buah bibir di desanya. Bahwa si Polan sukses hidup di Jakarta.

Padahal warga desa tidak nengetahui dengan jelas, apa pekerjaan si Polan di Jakarta  Akibatnya, selama libur Lebaran, banyak anak muda desa yang merayu orang tuanya agar boleh ikut si Polan ke Jakarta.

Awalnya, Pemprov Jakarta tidak melakukan pelarangan, namun setelah banyak kasus pahit yang dialami warga desa mulai muncul perda pelarangan warga luar Jakarta untuk memasuki Jakarta. Misal dengan pemeriksaan di pintu tol masuk kota Jakarta. Bagi warga di luar Jakarta yang tidak memiliki keahlian segera dipulangkan ke desanya.

Mengapa untuk masuk ke Jakarta, harus punya keahlian? Sebab banyak cerita miring, banyaknya orang yang tertipu oleh iming-iming hidup nyaman di Jakarta.

Bisa saja karena ulah oknum, yang menjanjikan pekerjaan berupah besar di Jakarta, misal dijanjikan bekerja di restoran, ternyata dijerumuskan ke bisnis esek-esek, menjadi PSK atau pemandu lagu di karaoke.

Bagi yang imannya kuat, pasti berontak, dan melarikan diri. Tapi apa akibatnya? Karena tidak memiliki keahlian, akhirnya terlunta-lunta hidup dengan menumpang dari satu teman ke teman lainnya. Akhirnya, mendapat pekerjaan juga, namun tidak sesuai dengan harapan, karena hanya sebagai ART.

Bahkan dalam sebuah film nasional tentang urbanisasi ke Jakarta, "Jakarta vs Everybody" dikisahkan seorang pemuda desa yang dijanjikan akan menjadi aktor, eh akhirnya terperosok menjadi kurir narkoba. Memang dia dapat bertahan hidup di Jakarta, namun kehidupannya jauh berbeda dengan impiannya. Yang semula taat beribadah menjadi budak uang akibat komersialisasi.

Warga desa yang hijrah dari desa ke Jakarta, ada bermacam caranya. Ada yang ikut teman / saudara yang kebetulan mudik, tapi ada pula yang membayar sekian juta kepada para calo tenaga kerja yang menjanjikan pekerjaan di Jakarta.

Padahal warga desa harus mengetahui bahwa mencari pekerjaan halal di Jakarta tidak semudah membalik telapak tangan, bila tidak memiliki keahlian. Paling tidak harus memiliki ijasah SMA / SMK bila ingin bekerja di kantor atau bengkel. Harus memiliki pengalaman kerja di kantor, agar mudah menyesuaikan diri. Bila bekerja di bengkel, harus memiliki keahlian nemperbaiki mobil atau sepeda motor. Kecuali berani berwiraswasta membuka bengkel sendiri, namun harus punya modal untuk sewa tempat dan membeli peralatan. Itupun persaingan sangat ketat, bila bengkel kurang disukai pelanggan, lama-lama merugi dan tutup.

Bila ingin bekerja di catering harus memilki keahlian nemasak. Bekerja menjadi waiter / kasir di restoran juga harus memiliki keahlian mengoperasikan peranti canggih, karena restoran di Jakarta sudah banyak yang tanpa menu manual maupun menerima pembayaran tunai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun