Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Tradisi Ngupat di Banten

20 Maret 2024   22:15 Diperbarui: 20 Maret 2024   22:30 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Zaman now mencari tradisi yang masih dijalankan di Jabodetabek sangat sulit. Tradisi membangunkan makan sahur yang dilakukan oleh anak-anak dengan mendorong gerobak sambil memukul  bedug.setiap bulan Ramadan saja sudah tidak ada, digantikan dengan bunyi alaram dari ponsel. 

Tradisi ini dilakukan dengan cara berkeliling kompleks atau kampung  berpakaian seadanya (biasanya masih memakai pakaian tidur atau sarung), membunyikan aneka bunyi-bunyian, sambil berteriak "sahur, sahur". Kalau di daerah, saya yakin masih banyak tradisi yang bisa dilestarikan.

Misal dugder di Semarang, dugder di Kendal, dan ngupat di Banten. Sayang saya sudah tidak bisa mobile lagi, sehingga tidak sempat membuat videonya.

Tradisi Ngupat atau Ngelepet di Banten biasa diadakan pada tanggal 15 bulan Ramadan.

Masyarakat membuat ketupat dari bahan beras, atau lepet dari bahan beras ketan. Beras atau beras ketan ini dibungkus dengan daun kelapa. Karena medianya berupa ketupat, maka disebut ngupat, atau lepet lalu disebut Ngelepet.

Lalu ketupat atau lepet yang sudah matang bersama beberapa lauk dibawa ke masjid. Makanan ini dimakan bersama di halaman masjid setelah salat tarawih

Tradisi Ngupat atau Ngelepet ini berasal sejak era para wali aktif melakukan siar agama di Banten. Yang kemudian selalu dilakukan tiap bulan Ramadan datang, sehingga menjadi tradisi turun menurun dengan tujuan untuk mengakrabkan masyarakat.

Tradisi ini ada juga yang menyebutnya dengan istilah qunutan, karena bermakna sebagai media dakwah, meramaikan masjid, karena masyarakat berkumpul dan berdoa bersama, yang diakhiri dengan makan bersama.

Tradisi yang baik hanya kita yang harus peduli untuk melestarikannya. Kalau bukan kita, siapa lagi ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun