Lola Amaria kembali menghebohkan dunia layar putih dengan film produksi tahun 2022. Namun saya yakin sudah mulai dibuat 5-8 tahun sebelumnya, karena pada akhir film dituturkan bahwa 4 eksil sudah meninggal dunia.
Film tanpa artis khusus yang membintangi film dokumenter sejarah ini, diperankan langsung oleh ke 10 orang eksil yang sempat dan bersedia di wawancara dan di filmkan.
Ke 10 eksil adalah alm. Asahan Aidit, alm. Chalik Budiman, alm. Kuslan Budiman, alm. Sardjio Mintardjo, Hartoni Ubes, I Gede Arka, Kartaprawira, Sarmaji, Tom Iljas, dan Waruno Mahdi. Jadi yang tampil adalah 10 wajah renta, dengan rambut putih, bahkan kumis putih dengan jalan tertatih-tatih.
Mereka yang semula menempuh studi lanjut ke Rusia dan China, karena Pemerintah Soekarno menawarkan bea siswa. Mereka yang jomblo, atau sudah menikah dan memiliki anak, atau yang sedang membina hubungan awal pada awal 1960-an, karena peristiwa politik 1965, paspor mereka tidak diperpanjang alias dibatalkan, sehingga status mereka menjadi tidak memiliki kewarga negaraan.
Dalam film yang bertutur seperti Tim Lola yang mewawancarai mereka, tergantung pengambilan gambar lokasi domisili mereka di pelarian. Ada yang di Belanda, Jerman, Swedia, Czeko, bahkan Penang. Yang dikombinasi dengan karikatur dan foto-foto dokumenter untuk mendukung alur cerita.
Asal mereka pun bermacam-macam, dari  Jawa, Bali, Belitung, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. Setelah peristiwa politik 1965 di Indonesia, mereka setelah menamatkan kuliahnya berusaha keluar dari dua negara yang mendapat stempel komunis, dan terlibat dalam peristiwa G30S/PKI. Akibatnya, mereka berpencar, terutama ke Eropa yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Tetapi mereka tidak berani berkomunikasi dengan sanak saudara di Indonesia, karena kawatir sanak saudaranya akan terkena litsus, yang akan lebih menyengsarakan kehidupannya, bahkan bisa masuk penjara atau dibunuh.
Akibatnya, mereka terlunta-lunta di negara orang. Meski mereka sama sekali tidak melakukan kegiatan politik. Mereka bekerja apa saja, dari yang sesuai dengan bidang ilmu yang dikuasainya, hingga menjadi penjaga malam atau koki restoran. Mereka berbeda dengan eksil dari Kurdistan atau Palestina yang masih tetap berpolitik.
Namun yang membanggakan, hati mereka tetap di Indonesia, meski mereka tidak berani kembali ke Indonesia.
Tersirat mereka masih mengikuti berita tentang Indonesia, menanam tumbuhan Indonesia yang dapat tumbuh di Eropa. Bahkan kalau diperiksa hati mereka pasti masih Merah Putih, walau status WNI mereka sudah dicabut. Sebagian dari mereka ada yang bekas tentara pelajar, yang ikut berjuang melawan Jepang dan saat agresi Belanda, dan tidak semuanya mantan anggota PKI, meski ada juga yang memang anggota PKI.
Menurut mereka, yang  salah (meski harus dibuktikan secara hukum) adalah petinggi partai, kenapa kesalahan juga harus ditimpakan kepada anggota, yang bahkan hanya petani biasa. Mereka mengakui sebagai orang Kejawen, bukan penganut Marxisme apalagi Komunisme.
Karena kerinduannya akan tanah airnya, mereka akhirnya terpaksa menerima tawaran menjadi WN di tempat domisilinya. Mereka dapat kembali ke Indonesia, meski merasa tetap dikuntit, bahkan bisa tiba-tiba diminta pulang saat sedang berlibur, serta dilarang membuat film tentang daerahnya.
Banyak kejadian yang menyedihkan sebagai manusia, dimana mereka tidak dapat menguburkan jenasah orangtuanya, maupun mengenal dengan baik anak kandungnya.
Semoga peristiwa politik yang sangat getir secara kemanusiaan ini tidak terjadi lagi di Indonesia. Film "Eksil" Ini adalah sebuah potret bagi generasi muda yang belum lahir pada era 1960-an. Generasi muda harus menyaksikan film ini, agar mengetahui peristiwa kelam ini pernah terjadi di Indonesia.
Terima kasih atas riset dari Lola Amaria Production yang sekaligus memproduksinya. Terima kasih kepada Pemerintah Presiden Joko Widodo dan LSF yang mengizinkan film ini beredar di Indonesia. Semoga ada upaya Pemerintah yang berani bertindak guna mengembalikan sekitar 600 eksil ke Indonesia.
Kini mereka harus menunggu dengan pasrah hingga ajal menjemput, karena rata-rata mereka sudah berusia 70 tahunan.
Usulan solusi
Apakah memungkinkan ke 600 eksil dipulangkan ke Indonesia dan ditampung di sebuah pulau dengan pengawasan yang ketat, agar mereka tidak berpolitik praktis. Setidaknya di hari tua mereka, mereka berhak menikmati hidup di tanah kelahirannya.
Bila mereka harus keluar dari penampungan, misal menghadiri acara keluarga, dapat dikawal aparat. Semua surat dapat disensor, apakah menggunakan sandi untuk berpolitik.
Semoga keinginan tulus mereka untuk lahir dan meninggal di tanah air tercinta dapat terwujud. Toh mereka sudah uzur, mereka tentu tidak akan sanggup berpolitik praktis lagi.
Sungguh getir menyaksikan, saat jenasah dibaringkan dengan iringan lagu "Indonesia Pusaka" karya Ismail Marzuki.
Disana tempat lahir beta
Tempat akhir menutup mata
Semoga tulisan ini tidak menjadi spoiler, terus maju Lola Amaria, sutradara kebanggaan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H