Survei yang dilakukan oleh harian Kompas itu ada benarnya. Masyarakat kelas menengah ini yang paling rentan dari dampak perubahan ekonomi, contoh : kenaikan harga sembako.
Kelas Menengah ini memang kalangan yang tanggung, mau jadi kaya susah, dikatakan miskin ya ogah, karena terbukti tidak menerima bansos dari Pemerintah. Karena mereka masih memiliki kendaraan pribadi, meski hanya roda dua, nyicil lagi. Meski rumah ngontrak, tapi masih bisa nongki cantik di gerai kopi kekinian, dan pada akhir bulan masih bisa nonton di bioskop atau masuk restoran waralaba asing. Yang jelas masih punya gawai dengan kuota yang cukup untuk bersosmed ria.
Mengapa mereka tidak dapat mempromosikan dirinya menjadi kaya?
Karena syarat untuk menjadi kaya itu tidak mudah. Tidak melalui pola hidup "frugal living", kita bisa tiba-tiba promosi jadi orang kaya.
Kalau dulu ada istilah "Hemat Pangkal Kaya". Rasanya pada era digital atau zaman now ini, istilah itu sudah tidak berlaku lagi
Mau berhemat? Lalu uang ditabung di bank? Bunganya sangat kecil. Bunga Deposito saja hanya sekitar 3-4% per tahun. Mau bunga lebih besar harus berinvestasi di obligasi yang mengharuskan jangka waktu lebih lama, tetapi tidak dapat diuangkan tiba-tiba bila ada keperluan.
Agar bisa cepat kaya, kita harus berinvestasi yang nyrempet bahaya. Istilahnya, mau untung besar, harus berani menghadapi resiko besar.
Bila mau dikelola oleh bank atau fund manager bisa melalui reksadana. Tapi kalau bisa meluangkan waktu, untuk mengikuti pergerakan nilai saham di bursa, bisa menjadi pemain saham. Resikonya ada sih, kalau sukses, bisa cepat promosi jadi orang kaya, seperti teman saya yang tiap bulan bisa pergi liburan. Tapi bila gagal, bisa terdegradasi ke kelas miskin. Asal jangan sampai terlibat hutang dari pinjol illegal saja. Karena hidup bakal tidak tenang, karena selalu diterror debt collector.
Syarat menjadi kaya lainnya adalah agak "nakal", bila statusnya karyawan, baik ASN atau karyawan swasta tapi merangkap bekerja lain, atau istilahnya "moonlighting". Jadi, sambil bekerja sebagai karyawan, memiliki usaha sendiri. Tentu dimulai dari UMKM lalu membesar hingga menjadi kontraktor. Kalau hanya sekedar bekerja rangkap, masih sangat sulit untuk beralih ke kuadran kaya. Karena gaji dua kali dari kerja pagi & malam, misal pagi sebagai karyawan, malam sebagai dosen, biasanya tidak diikuti peningkatan prestasi. Sehingga kenaikan gaji hanya menunggu kenaikan tahunan saja.
Jadi agar bisa promosi menjadi kaya haruslah berani menjadi wiraswasta. Menjadi Direktur atau Komisaris perusahaan sekalipun, belum tentu bisa menjadi kaya, kecuali kita berkarier di perusahaan papan atas.
Pada era digital, ada peluang untuk bisa menjadi kaya, asal kita memiliki kreativitas yang tinggi. Jadilah selebritas YouTube, Instagram atau TikTok. Bila video kita disukai banyak orang, kita bisa memperoleh fee dari sosial media, atau mendapat tawaran dari perusahaan yang mengagumi hasil karya kita. Memang tidak mudah, karena kita harus bersaing dengan artis yang juga banyak terjun ke sosial media. Bisa juga membuat podcast, tapi lagi-lagi kita harus bersaing dengan artis. Mereka dengan mudah mengundang pejabat publik. Nah kalau kita, apa bisa?
Memang semua harus dicoba, dirintis secara bertahap, tanpa ketekunan tidak ada rezeki yang datang dengan sendirinya.
Harus memiliki mental wiraswatawan yang tangguh. Berani malu, dan berani tampil beda. Kita harus belajar dari orang-orang sukses, seperti Atta Halilintar atau Ria Ricis, agar bisa sukses di sosial media.
Untuk berbisnis, memang perlu modal yang kuat. Mengalami proses jatuh bangun, karena tidak ada bisnis yang tiba-tiba nenggurita, silakan pelajari kisah sukses Kolonel Sanders (KFC) atau gerai kopi Starbucks.
Memang untuk beralih ke kuadran kaya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Prinsipnya tekuni dan pantang menyerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H