Dulu hanya orang kaya atau yang dibayari perusahaan yang dapat naik pesawat udara regular misal Garuda Indonesia
Sekitar menjelang tahun 2000-an di dunia dan di Indonesia mulai muncul LCC (Low Carrier Cost). Umumnya LCC menggunakan bandara kelas dua agar sewanya lebih murah  Namun karena Jakarta belum memiliki bandara kelas dua, terpaksa masih memakai bandara utama, yaitu bandara Soeta, hanya posisi parkir pesawat di ujung landasan,  sehingga tidak dapat menggunakan garba rata, juga letak pesawat sangat jauh dari pintu, akibatnya setelah penumpang berkumpul harus menggunakan bus untuk dibawa ke lokasi parkir pesawat. Angkutan bisa terjadi 2-3 kali. Saat mendarat, juga parkir pesawat di ujung, sehingga penumpang harus diantar dengan bus ke pintu terdekat.
Contoh pesawat LCC di Indonesia adalah Lion Air, Citilink, Bouraq (almarhum), dan Adam Air (almarhum).
Prinsip kerja LCC beroperasi dengan harga murah sehingga terjangkau masyarakat lebih luas, dengan jadual penerbangan yang lebih padat.Itulah sebabnya saya senang menggunakan LCC untuk jadual penerbangan awal / pagi hari. Hampir pasti tidak pernah terlambat.
Jangan berani menggunakan LCC pada siang / malam hari, bila terjadi keterlambatan pasti berimbas pada jadual siang / malam.
Saking effisiennya, saya pernah belum turun dari pesawat, awak pesawat jadual penerbangan berikutnya sudah naik ke pesawat dan langsung merapikan kabin.
Dampak yang lebih parah, bawaan penumpang baik bagasi maupun kabin jadi beraneka ragam seperti penumpang bus dan kereta api. Tidak hanya koper cantik, tetapi juga banyak doos atau diikat ala kadarnya. Suasana bandara juga terkesan kumuh, ada penumpang mengenakan kaus, baju tidur, bahkan sandal jepit.
Tetapi ya harus kita maklumi, karena ini habit penumpang yang beragam.
Namun naik LCC tidaklah selalu jelek. Perjalanan ke luar negeri juga bisa menggunakan LCC .Misal untuk ke Thailand ada Air Asia, Nok, Lion Thai, dan Vietjet.
Pengalaman saya menggunakan Vietjet sangat luar biasa layanannya, bahkan melebihi pesawat regular.
Karena LCC, saya kira mereka akan mata duitan dengan mencari beaya tambahan dari kelebihan berat. Ternyata hal ini tidak dilakukan oleh Vietjet.
Saya pernah menimbang koper bagasi sekitar 18 kg, berarti telah terjadi kelebihan berat 3 kg. Petugas bertanya, adalah bawaan ke kabin?
Ketika dijawab ada, petugas menyarankan mengambil beberapa barang dari dalam koper dan memindahkan ke ransel.
Ternyata meski LCC, mereka tidak mencari tambahan beaya dari kelebihan berat.
Hal yang serupa terjadi pada saat menimbang bawaan kabin, batas bawaan ke kabin 7 kg, saat itu saya membawa ransel punggung dan satu tas  Petugas check in hanya bertanya, apakah isi ransel itu notebook? Saya jawab ya, padahal isinya oleh-oleh. Tas saya ditimbang sekitar 4 kg, kalau ransel saya ditimbang pasti lebih dari 7 kg, dan beaya kelebihan berat per kg sekitar 380 Baht. Syukurlah saya bisa berhemat.
Yang lebih surprised, saat ransel dipayar (di scan) ditemukan gunting kebun (karena saya hobi berkebun). Wah bakal disita, pikirku.
Ternyata tidak, petugas menanyakan apakah saya memiliki tas di bagasi. Karena saya memiliki tas di bagasi, lalu saya diminta mengeluarkan gunting dari ransel, lalu mengantar saya ke bagian bagasi untuk memasukkan gunting ke dalam tas di bagasi. Selamatlah gunting saya
Pertanyaan saya, ini kebijakan bandara Thailand atau layanan khusus dari LCC Vietjet?
Ternyata naik LCC, mereka tidak mata duitan. Semoga LCC dapat terus menerbangkan makin banyak orang dengan layanan terbaiknya.
Serta layanan yang fleksibel dan menyentuh hati pelanggan, mampu diterapkan manajemen LCC di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H