Mungkin singkatan diatas kurang familiar di telinga sebagian warga Jakarta. Museja adalah singkatan dari Museum Sejarah Jakarta. Terletak di lapangan Fatahilah, sehingga secara salah kaprah ada yang menyebutnya Museum Fatahilah. Padahal di lapangan Fatahilah terdapat 3 museum yakni Museja, Museum Wayang, dan Museum Keramik.
Khusus pada tulisan ini saya akan memaparkan pengalaman nengeksplorasi Museja. Museja dulunya adalah kantor gubernur jenderal Belanda, balaikota, sekaligus sebagai penjara dan pengadilan untuk warga yang dituduh sebagai penjahat. Kabarnya Pangeran Diponegoro dan Tjut Nyak Dhien pernah di penjara disana.
Untuk memasuki Museja, sekarang harus melalui pintu Barat (di depan kafe Acaraki), pintu utama sekarang sudah ditutup. Menurut pemandu museum, agar pengunjung menikmati museum secara beruriutan.
Untuk dapat memasuki museum, kita harus membeli tiket seharga 5 ribu Rupiah untuk dewasa atau 2 ribu Rupiah untuk pelajar (ini harga pada bulan September 2023). Yang bagi warga Jakarta harus dibayar dengan kartu pra bayar JakCard atau JakLingko, bagi non warga DKI Jakarta atau warga asing dapat membayar secara tunai, lalu petugas akan membantu dengan kartu miliknya.
Setelah membeli tiket, kita akan memasuki ruang tunggu yang penuh gambar mural suasana pesta Jakarta tempo dulu. Biasanya di ruang tunggu ini  kita menunggu pemandu lokal yang siap bertugas.
Lalu kita akan memasuki pintu museum yang dijaga oleh dua boneka ondel-ondel raksasa.
Pertama kita akan diperlihatkan suasana Jakarta saat zaman batu. Batu tertua adalah batu yang  ada tapak kaki Raja Purnawarman. Lalu banyak dipajang temuan batu hasil penggalian di Bekasi dan Krawang. Kita dapat melihat perkembangan masyarakat pra sejarah  saat itu dari mulai berburu, hingga mulai bertani dan memasak.
Lalu kita memasuki ruang berisi tentang kerajaan Sunda, salah satu yang terpenting adalah adanya perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis.
Lalu kita bisa naik ke lantai dua, melalui anak tangga kayu jati yang masih kokoh. Pada ujung lantai dua terdapat jendela bsljon yang dapat dibuka dan terlihatllah lapangan Fatahilah dari atas. Era kolonial, jendela ini selalu dibuka saat mengumumkan adanya hukuman mati. Disinilah gubernur jenderal memimpin eksekusi mati, entah dengan penggal kepala atau digantung. Sebelum pelaksanaan hukuman mati, selalu dibunyikan lonceng kematian untuk membuat warga jera.
Lalu kita memasuki ruangan yang memperlihatkan koleksi pembangunan abad 18-19, seperi stasiun, kantor pos, istana Merdeka, Â dan istana Negara.
Kemudian kita memasuki ruang arsip yang sekaligus ruang kerja gubernur jenderal sebagai ruang pengadilan.
Koleksi Museja menampilkan peralatan yang pernah digunakan pada masanya, termasuk pedang keadilan untuk memancung terpidana mati.
Museja juga merekam peristiwa kelam saat terjadi "Geger Pecinan" dimana ribuan orang Tionghoa dibantai oleh VOC karena dituduh memberontak pada tahun 1740. Mayat bergelimpangan di jalan, yang kini dikenal sebagai Gunung Sahari atau dihanyutkan di sungai yang dikenal sebagai Kali Angke (kali bangkai). Orang Tionghoa yang dapat menyelamatkan diri pergi ke Tangerang, Bogor, Cirebon, Bandung, hingga Semarang.
Museja juga mencatat bangkrutnya VOC, yang lalu digantikan oleh Pemerinrah Hindia Belanda.
Mengenai asal usul penduduk Jakarta, pertama ada suku Betawi lalu disusul banyak pendatang yang membuat warga Jakarta menjadi beragam.
Kemudian ada ruangan yang memperlihatkan timeline perubahan nama yang dipakai, mulai dari Sunda Kelapa (abad 3-14), Jayakarta (1527), Batavia (1619), Tokubetshu Shi (1942), hingga Jakarta (1949).
Bagian paling ujung menjelang pintu keluar, terdapat toko yang menjual cindera mata khas Jakarta. Lalu keluar  dan turun menuju ruang bawah tanah, disitulah terdapat penjara pria dan wanita. Pahlawan nasional pria yang pernah dipenjara sebelum dibuang ke Makassar adalah Pangeran Diponegoro, sedangkan pahlawan wanita adalah Tjut Nyak Dhien.
Setelah keluar dari penjara kita akan menyaksikan patung Hermes, dewa perdagangan Yunani yang semula terdapat di ujung Jalan Harmoni.
Pada suatu sudut, kita dapat menikmati kuliner Betawi seperti kerak telor, dan es selendang mayang.
Berakhirlah eksplorasi kita di Museja, kita keluar kembali di pintu Barat.
Kita sangat kagum atas koleksi di museum ini, lengkap dan terpelihara. Menyebabkan kita dapat mengetahui sejarah kota Jakarta, sekaligus mencintai sejarah Indonesia.
Yuk ke museum !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H