Kalau dulu, bahkan sekarang masih ada, type pemimpin yang bergaya boss. Staff atau anak buah harus senantiasa mengikuti kehendaknya, tanpa boleh membantah atau memberikan argumentasi solusi alternatif. Intinya anak buah harus mengikuti 100% kehendak boss tanpa alasan apapun.
Meski kadang-kadang ide boss ini salah, sehingga mengalami kegagalan, namun aman bagi anak buah yang penurut karena mereka tidak akan disalahkan atau kena marah atau sangsi.
Meski tidak sempat mengikuti pendidikan tingkat tinggi, setingkat Master degree, karena seringnya saya ditugaskan ke lokasi cabang, di luar kota bahkan di luar pulau, ataupun mengawasi berjalannya proyek-proyek di lapangan, saya mengatasinya dengan membaca buku-buku manajemen.
Sebagai manajer umum, posisi saya ditengah. Di atas saya masih mempunyai atasan, sebaliknya dibawah saya masih mempunyai manajer unit dan karyawan. Atasan saya masih menerapkan gaya kepeminpinan lama, yaitu antara boss dan anak buah. Meski tidak sekaku boss tempo dulu, karena bila saya memiliki  solusi yang lebih bagus, biasanya saya utarakan berdua, tidak di depan rapat, dengan tujuan tidak mempermalukan atasan.
Sebagai manajer umum, saya menerapkan gaya kepeminpinan partisipatif. Jadi berlawanan dengan gaya atasan saya, akibatnya saya sering mendapat teguran dengan alasan kurang tegas atau terlalu memberi kebebasan bagi bawahan. Perbedaan manajemen partisipatif memberikan kebebasan kepada staff / karyawan, asalkan selalu dikoordinasikan, keuntungannya sebagai atasan, saya tidak harus menunggui mereka bekerja, mereka bekerja atas inisiatif sendiri. Beda dengan gaya boss, bila boss tidak ada di dalam kantor, anak buah bisa liar seperti satwa ditinggal pawangnya. Harus selalu ada boss agar mereka bekerja rajin.
Untungnya teguran itu akhirnya sirna dengan sendirinya, karena saya sanggup membuktikan dengan manajemen partisipatif, target perusahaan selalu tercapai, yang berakibat profit perusahaan terus meningkat, sehingga perusahaan makin berkembang.
Saya pun mengikuti banyak asosiasi bisnis, sehingga ppengetahuan bertambah luas dan jaringan bisnis meningkat. Hal inilah yang tidak dilakukan oleh atasan saya.
Salah satu yang menjadi pegangan saya adalah bacaan dari Harvard Business Review, yang memaparkan bahwa telah terjadi transformasi  pada pimpinan tahun 2012 ke tahun 2022. Khususnya mengenai hubungan atasan bawahan, komunikasi dan penampilan.
Pada hubungan atasan bawahan terbaru, faktor integritas sudah menurun dari 63% ke 60%. Lalu muncul hal-hal baru yang harus diperhatikan seperti hormat / respek satu terhadap yang lain serta inklusivitas. Sedangkan faktor kepercayaan diri tetap diutamakan.
Pada segi komunikasi, seorang pemimpin harus memiliki cara berbicara yang baik, tidak hanya di dalam rapat luring, juga pada rapat daring /zoom.
Hal yang baru yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah kemampuan mendengar dan memiliki ide asli.
Pada sektor penampilan yang harus diperhatikan adalah kemampuan tampil secara daring, memiliki tubuh yang selalu bugar dan mampu menghadapi era New Normal, yang mampu mengadopsi Work From Home maupun Work From Anywhere. Jadi tidak kaku, kukuh pada kehadiran di kantor (9 to 5) atau Work From Office.
Sebagai pemimpin di era digital yang harus berhadapan dengan generasi Z yang lebih mengutamakan kreativitas dan keberhasilan daripada kehadiran belaka, maka gaya kepemimpinan perlu bertransformssi agar perusahaan tidak kehilangan karyawan bertalenta positif.
Cara yang saya tempuh dapat dijalankan sebagai best practice, tanpa menerlukan teori-teori yang rumit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H