Kira-kira seminggu lagi hari ulang tahunku yang ke dua puluh lima datang, dan bertepatan dengan hari raya Idul Fitri atau yang sering disebut Lebaran. Seperti kebiasaan, aku lebih senang menetap di Jakarta saja, menikmati jalanan yang sepi, tidak ada kemacetan, karena sebagian besar penghuninya mudik. Baik dengan menggunakan transportasi umum, kendaraan pribadi maupun turut program CSR perusahaan-perusahaan besar, naik kapal laut, bus atau truck.
Seperti biasa, tunanganku Rika juga meniru caraku, mudik setelah Lebaran, agar tidak mengalami peak season pada saat naik transportasi umum maupun naik kendaraan pribadi. Untungnya, kedua orangtua kami bisa menerima alasan kami dan tidak memaksakan mudik saat Lebaran.
Namun kali ini berbeda, Rika dipaksa untuk mudik saat Lebaran. Padahal aku ingin mengakhiri ulang tahun pada masa lajangku dengan Rika.
Meski sebagai laki-laki, aku tidak boleh cengeng, aku dengan terpaksa menyetujui permintaannya. Karena aku sangat paham karakter Rika, dilarang pun, ia pasti akan tetap pergi karena permintaan ayahnya selalu bagaikan perintah atasan yang tidak boleh dibantah.
Tapi kali ini, aku memiliki firasat kurang enak, jangan-jangan Rika akan dijodohkan dengan orang sesukunya di kampung.
Karena aku menyadari sebagai laki-laki Sunda, kurang dapat diterima dalam keluarga Jawa. Mungkin akibat mitos sejak zaman Pajajaran-Majapahit, bahwa orang Sunda dan orang Jawa sering berselisih. Namun anehnya, saat pertunangan kami diresmikan, orangtua Rika setuju-setuju saja.
Setelah menerima persetujuanku, Rika akhirnya berangkat dengan pesawat ke Malang. Dengan terpaksa aku akhirnya merayakan ulang tahunku sendirian, karena teman-teman juga pada mudik. Makan sendirian di sebuah restoran favorit, namun tanpa gelak tawa maupun kemanjaan Rika. Ketika pulang ke rumah, aku menerima paket kecil yang diantar kurir jasa paket. Berisi sebuah novel dengan kartu ulang tahun, bertuliskan tangan Rika "Selamat ulang tahun, Aa".
Hanya itu komunikasi terakhir antara aku dan Rika. Pesan singkatku yang mengucapkan terima kasih atas hadiah ulang rahunnya tak kunjung dibalas.
Bahkan beberapa kali kucoba menghubungi via sambungan telepon, nadanya tidak tersambung. Seperti ponsel dalam keadaan tidak aktif. Celakanya, aku tidak memiliki satu pun nomor kontak keluarga Rika.
Aku hanya dapat termenung dalam sepi. Â Memandang langit mendung, penuh awan, semendung hatiku. Tiada bulan dan bintang yang dapat menyampaikan pesanku padanya seperti hari-hari lalu.
Sebulan telah lewat, aku yakin Rika pasti sudah kembali bekerja. Karena dia memiliki disiplin yang ketat, bila mengenai kariernya. Kuteguhkan hatiku menuju kantor tempat dia bekerja. Bertemu dengan beberapa teman kantornya yang kukenal. Tak seorangpun yang mengetahu kabar beritanya. Bahkan mereka yang balik bertanya, seharusnya sebagai tunangan Rika, aku seharusnya yang paling tahu tentang keberadaan Rika.