Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Akulturasi Kuliner Tionghoa Peranakan

9 September 2023   05:00 Diperbarui: 9 September 2023   06:06 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bila kita mengamati kuliner yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia, ternyata adalah hasil akulturasi antara budaya Tionghoa dan lokal. Biasanya terjadi perkawinan campur (asimilasi) antara pria Tionghoa dan perempuan lokal. Perempuan yang diperistri pria Tionghoa biasanya dipanggil "nyonya / encim".Berbusana kain dan kebaya, sehingga pernah terkenal kebaya encim. Budaya asimilasi ini memunculkan budaya Tionghoa Peranakan.

Tidak di Nusantara saja, bahkan asimilasi ini terjadi di jasirah Melayu, seperti Malaysia dan Singapura. Di Singapura ada satu kawasan yang disebut kawasan Tionghoa Peranakan yaitu Joo Chiat.

Menurut sejarah kedatangan orang Tionghoa di Museum Hakka, TMII, asalnya sebagai pekerja tambang dan perkebunan. Lalu setelah berasimilasi, ada yang menjadi pedagang kain, penjual obat, tukang sepatu, penjual makanan, dan lain-lain.

Kuliner yang paling luas sebarannya adalah laksa. Kuliner berkuah dengan bahan kunyit. Di Malaysia dan Singapura variasinya ditambah seafood, seperti udang dan cumi. Sedang di Nusantara berbeda-beda tergantung konten lokalnya, ada laksa Betawi, laksa Tangerang dan laksa Bogor. Yang terakhir ini menambahkan oncom, seperti laksa Inin di Cijeruk, Bogor. Di Tangerang, bahkan ada sentra laksa, dengan puluhan pedagang laksa.

Disusul bakmi, dari Aceh hingga Makassar, terdapat aneka macam bakmi. Mulai dari Mie Aceh, Mie Gomak (Medan), Mie Celor (Palembang), Mie Belitung, Soto Mie (Bogor), Mie Kocok (Bandung), Mie Koclok (Cirebon), Mie Jawa (Jawa Tengah & Yogya),  Mie Kepiting (Pontianak) dan Mie Titi (Makassar).

Selain bakmi, yang termasuk kuliner akulturasi adalah bihun, kweetiauw, bakso dan pangsit  Kweetiauw terkenal di Medan, Bangka dan Pontianak. Bakso dan pangsit pada awalnya berbahan daging babi, namun agar diterima masyarakat yang mayoritas Muslim, daging babi diganti dengan sapi, ayam, atau udang.

Berikutnya adalah nasi goreng. Pada umumnya menggunakan kecap tetapi ada juga yang menggunakan saus tomat. Khusus di Semarang, konten lokal menambahkan babat, sehingga terkenal sego babat, juga babat gongso .

Lalu ada cap cay, yang semula artinya sepuluh macam sayur, juga menjadi kuliner akulturasi yang populer.

Bubur, dimana sering muncul pertanyaan termasuk partai diaduk atau tidak diaduk. Budaya Tionghoa nampak pada pemakaian  tongcai, kecap dan cakue.

Palembang, kita mengenal pempek dan tekwan. Ternyata juga bukan kuliner asli tetapi akulturasi. Demikian pula, Pindang Bandeng yang sering disebut kuliner Betawi.

Kecap tertua kita temukan di Tangerang juga akulturasi. Tahu Sumedang yang dikembangkan oleh Ong Beng Keng dan istrinya yang perempuan lokal.

Berikut ini adalah kuliner akulturasi lainnya:

* Tauge goreng, Bogor
* Tauco, Cianjur dan Pekalongan. Bahkan di Pekalongan, terkenal dengan tauto, atau tauco soto
* Siomay, Bandung dan Tangerang. Semula siomay menggunakan daging babi, agar lebih diterima masyarakat diganti dengan daging ayam / udang.
* Cuanki, Bandung. sejenis bakso yang variannya lebih mirip bakwan Malang.
* Nasi jamblang, Cirebon. Unsur lokal menggunakan daun jati sebagai pembungkus nasi.
* Telur asin, Brebes
*  Swikee, Jatiwangi - Majalengka dan Purwodadi. Bagi kalangan Muslim yang fanatik, kuliner ini trrmasuk haram, karena kodok hidup di dua alam.
* Lunpia, Semarang.
* Lontong Cap Go Meh, Sematang
* Bakpia pathuk, Yogyakarta.
* Sup lidah, Bulukunyi - Makassar
* Otak-otak, akulturasi budaya Tionghoa dan Melayu.
* Wedang ronde dan onde-onde, akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa.
* Jajan pasar, diantaranya kueku, kue berwarna merah dengan isian kacang hijau didalamnya.

Di Bangka Belitung, berkembang tiga kedai kopi dari Tionghoa Peranakan, yakni Kong Djie, Tung Tau dan Ake.

Bahkan sebuah lagu tempo dulu dengan irama stamboel cha-cha berjudul "Bakmi Pangsit", syairnya menunjukkan Ucup dan Joen Nio yang sedang bersenda gurau mengenai kuliner  Tionghoa Peranakan ini.

Mungkin nasih ada lagi kuliner Tionghoa Peranakan yang belum disebutkan, karena banyak ragamnya.

Kuliner Tionghoa Peranakan telah melengkapi ragam kuliner di Nusantara. Bahkan banyak yang menjadi makanan rakyat sehari-hari. Selamat menikmati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun