Mungkin bagi generasi baby boomers masih ingat penyanyi cilik Sari Koeswoyo, Chicha Koeswoyo dan Yoan Tanamal? Sari yang sempat memperoleh piringan emas dari albumnya "Kemarau", lalu disusul hitnya "Malu Tapi Mau" dan "Genit Ah Kamu" kini sudah menjadi seorang feminist yang percaya diri dengan 3 cucu, dan berusaha menjadi dirinya sendiri. Tidak menumpang pada ketenaran mendiang ayahnya, meski marga "Koeswoyo" tetap disandangnya.
Sari mulai tahun lalu memiliki hobi baru sebagai pelukis. Belajar secara otodidak sambil berdiskusi dengan adik ketemu gedhe pelukis Kana Fruddy Prakoso yang dianggapnya sebagai mentor berkesenian.
Melukis yang merupakan perjalanan spiritual bagi Sari, yang pada saat berhalusinasi selalu mencoretkan sketsa  lukisan yang kemudian disempurnakannya menjadi sebuah lukisan utuh. Agar lukisan itu dinyatakan selesai, Sari harus membubuhkan tanda tangan "SK" dalam huruf Jawa yang dbaca "soko". Karena bila belum ditandatangani, Sari sering iseng untuk merubah atau menambahi lukisannya itu.
Saat ini, hingga akhir Agustus 2023, Sari sedang melangsungkan pameran tunggal bertema "Lakonmu Opo?" di Ruang Garasi, jalan Gandaria IV/2, Jakarta Selatan. Meski ruang pamer dibuka mulai jam 11.00, bila ingin "didongengin" pelukisnya, sebaiknya janjian dulu melalui Facebook atau Instagram.
Koteka Trip 9, beruntung bertemu langsung dengan Sari, bahkan dijamu kopi dan jajan pasar sehingga mendapat penjelasan langsung atas 5 !lukisan yang dipamerkan.
Dimulai dari lukisan berjudul "Embok Embik" atau "Embok Emban". Pada lukisan ini, Sari berusaha mewayangkan manusia. Emban adalah seorang perempuan yang memiliiki akses luar biasa, dapat keluar masuk istana tanpa izin, merupakan pembisik nomor satu di istana.
Emban yang selalu mendidik putra / putri Raja sehingga menjadi orang berkarakter. Bisa diartikan juga pemimpin perusahaan yang membimbing stafnya atau pejabat yang membimbing anak buahnya.
Lukisan kedua berjudul "Wani ditata". Merupakan sikap protes dari Sari, bahwa wanita lebih patut disebut perempuan. Yang mengampu, bukan sekedar diiharuskan bagini begitu. Karena semua Ibu adalah perempuan, dan tidak semua perempuan sanggup menjadi Ibu.
Lukisan ketiga berjudul "Wis Wayahe" atau "Sudah Waktunya ". Menggambarkan sang Hyang yang multi gender mengenakan selendang dari kain perca memberikan api dan air kehidupan kepada personifikasi yang digambarkan sebagai naga yang sering muncul dalam ukiran di candi-candi. Dalam kehidupan harus selalu seimbang.
Lukisan keempat berjudul "Portal Kehidupan", dengan warna pink yang dominan, menggambarkan bahwa semua kehidupan harus melewati portal kehidupan yang ada pada perempuan.
Dan lukisan terakhir, yang diakuinya dibuat paling lama, karena beberapa kali dihapusnya. Dan dimulai dari awal, diberi judul "Wahyu Temurun". Menggambarkan seorang ratu yang tidak juga  melahirkan Pangeran untuk penyanbung dinasti raja. Kemudian raja bertapa, akhirnya permaisuri melahirkan bayi berkepala gajah (Ganesha).  Dengan gunungan yang menggambarkan jatayu yang melindungi sang bayi, batara kala yang menghentikan waktu dan bunga Padma yang hanya mau tumbuh di lumpur.
Didamping ke 5 lukisan di kanvas, dipamerkan juga lukisan dalam kertas A4, yang merupakan perjalanan karier Sari melukis, diantaranya menggambarkan tokoh cerita non Jawa yang sama sekali tidak dikenalnya. Muncul dengan sendirinya saat berhalusinasi.
Sari mulai melukis saat timbul pertanyaan pada dirinya, peranmu apa atau lakonu apa sebagai manusia.
Sari sebelumnya pernah mengikuti pameran 51 Â seniman se Jabodetabek, dan renananya bulan Oktober 2023 akan berpameran lagi. Bagi yang tertarik mengkoleksi lukisan Sari dapat menghubunginya. Hasil penjualan lukisan akan dimanfaatkan untuk Yayasan sosial yang didirikannya. selama ini lukisannya kebanyakan sebagai kado bagi teman-temannya.
Peserta Koteka Trip 9 mendapatkan bonus istimewa karena sempat bertemu mantan penyanyi cilik Chicha Koeswoyo dan Helen koeswoyo yang juga ingin memberikan dukungan pada sepuunya, Sari.
Sari Koeswoyo yang nama aslinya Loisse Hening Hapsari adalah penyanyi cilik era 1976-1985, kini telah bermetamorfoae menjadi pelukis, juga seorang caleg dapil Bojonegoro.
Selamat berpameran Sari, semoga muncul seorang maestro dari mantan penyanyi cilik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H