Saya menemukan resto ini secara tidak sengaja, saat mengantarkan teman dari Jerman ke kedai kopi Takkie di kawasan Petak Sembilan, Glodok. Saya tertarik karena resto ini masih bernuansa jadul, seakan tak peduli dengan kemajuan zaman.
Di bagian depan atas tergantung plank nama resto 'Lao Hoe', khas resto ala China peranakan. Bagi Anda yang sudah pernah ke kopi legendaris Takkie, tentu tidak susah mencari letak resto ini. Terletak di jalan Pantjoran, tepatnya gang Petak Sembilan, kawasan Glodok. Bagi Anda yang belum pernah ke kopi Takkie, carilah Pantjoran Tea House. Lalu masuklah ke gang sempit yang banyak orang berjualan.
Memasuki resto ini aura jadul langsung menyeruak. Kursi, meja, ubin dan pajangan foto benar-benar kuno, terletak pada sebuah rumah warisan yang telah ditinggali nenek pengelola resto yang warga negara Singapura. Pengelola resto saat ini, adalah oma Linda yang berusia 80 tahun, dengan dibantu dua saudaranya, usia mereka rata-rata sudah lanjut, antara 69-80 tahun dan suami oma Linda, usia 81 tahun. Oma Linda sendiri adalah anak kedua, dari enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Ayah oma Linda kelahiran tahun 1911.
Meski terkesan kuno, namun resto ini sangat bersih, termasuk dapur dan toiletnya. Mereka hanya mempunyai dua menu Laksa Bogor dan Mie Belitung.
Asal mulanya mereka berjualan dengan gerobak, namun karena sudah lanjut usia, mereka memutuskan untuk berjualan di rumah saja.
Bila resto yang viral di sosial media, biasanya resto dengan pemilik cantik, sexy atau bekas model. Resto ini justru menawarkan kebalikannya. Kita di resto ini dilayani oleh orang lanjut usia, baik pelayan, koki hingga kasirnya. Kalau di Gado-Gado Bonbin, Cikini yang juga jadul sudah menggunakan mesin Cash Register, disini justru masih menggunakan sempoa. Jadi, pembayaran harus tunai, alias tidak menerima transaksi digital. Dan ini sesuai dengan nama resto ini, Lao Hoe, yang  terjemahan bebasnya adalah lanjut usia.
Segi rasa
Meski menyebut namanya Laksa Bogor, menurut saya berbeda, karena disini tidak ada potongan oncom. Menurut penulis lebih tepat disebut Laksa Betawi. Laksa meskipun kuliner peranakan, hanya berisikan bihun putih, daun bawang, daun kemangi, tauge, dan telor, Â yang sudah disiapkan di dalam mangkok. Bila ada pembeli, tinggal disiram kuah laksa berwarna kuning yang selalu berada diperapian. Pemanas sudah menggunakan gas, beda dengan Laksa Bogor Pak Inin - Cijeruk yang pernah saya kunjungi bersama KPK yang masih menggunakan kayu bakar.
Kuah laksa Lao Hoe tidak terlalu kental atau encer, tetapi terasa segar dan beraroma wangi. Bagi yang menyukai, dapat menambahkan sambal dan perasan jeruk nipis.
Adapun Mie Belitung nya berupa mie kuning, tauge, irisan kentang dan tahu, dengan kuah yang tidak terlalu kental dan terasa manis. Bisa ditambahkan kerupuk udang.
Di bagian luar, kita bisa menemukan aneka gorengan, salah satunya yang sudah jarang ada adalah cempedak goreng.
Eksistensi lansia
Resto ini memberi pelajaran bagi generasi millennial atau Z, bahwa meskipun mereka sudah termasuk lansia, tetapi tidak memilih pensiun dan beristirahat. Namun mereka masih aktif, pantang menyerah hidup di belantara Jakarta yang keras dan kejam. Tidak  mudah mengeluh, karena meski termasuk lansia mereka masih sanggup bersaing dengan kuliner kekinian yang menjamur.
Bagi sebagian orang, resto ini adalah tempat bernostalgia, namun bagi sebagian lainnya merupakan teladan akan ketangguhan manusia dalam mengarungi kehidupan. Selamat menemukan hidden gem di kawasan Glodok.
Note; karena kapasitas foto asli terlalu besar, maka terpaksa diambilkan dari situs yang sudah ada, dengan menyebutkan sumbernya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H