Lahir dan dibesarkan di Indonesia di sebuah kota kecil, membuat kita sangat lekat berinteraksi dengan lingkungan. Meski hidup dalam keluarga yang disebut minoritas ganda (double minority), tidak menyurutkan kita untuk bermain bersama tetangga yang berbeda suku dan agama.
Kita jadi saling mengenal kebiasaan yang dilakukan teman-teman dan keluarganya. Asalkan kita saling menghormati perbedaaan, kita dapat berteman dengan baik.
Itulah kehidupan di masa kecil di kota kecil. Setelah lulus SMA, harus melanjutkan kuliah di Salatiga.Tinggal di sebuah keluarga Jawa yang masih menggunakan bahasa Jawa tingkat tinggi, karena pemilik rumah adalah tergolong Jawa ningrat.
Pelan-pelan terbiasa berbahasa Jawa halus. Karena orang Jawa, dan beragam Islam, rumah sering digunakan untuk pengajian. Uniknya pemilik rumah selalu memberi tahu kita, tujuannya agar kita jangan merasa terganggu.
Karena terbiasa, akhirnya kita tidak merasakan sebagai gangguan pengumpulan orang dengan suara doa-doa yang cukup riuh.
Sebaliknya, bila pada hari Minggu pagi, kita masih berada di rumah. Induk senang selalu menegur kita, kenapa tidak ke gereja? Betapa besar kepedulian beliau pada aras keagamaan kita, meski berbeda dengannya. Lalu kita jelaskan, bahwa pergi ke gereja tidak harus pada Minggu pagi, tetapi bisa Sabtu atau Minggu sore. Hubungan kami masih terus berlanjut, meski beliau kini sudah meninggal dunia, tetapi kita masih akrab dengan anak-anajnya hingga sekarang.
Selain di tempat kost, kehidupan bermahsiswa juga bertemu dengan aneka suku di Indonesia. Kita jadi bisa memahami adat istiadat suku di Indonesia Barat ataupun di Indonesia Timur. Kita juga sering melakukan aktivitas pengadian masyarakat, sehingga kita juga banyak berbaur dengan warga sekitar.
Karena perguruan tinggi kita sering mengadakan pertukaran mahasiswa, maka tempat kost kita juga kebagian ditinggali seorang mahasiswi asal Amerika Serikat. Saat di rumah atau sama-sama berangkat ke kampus, kami selalu bersama, sehingga kami saling mengenal dengan baik.
Saat mengambil mata kuliah Kerja Praktek, kita mendapat penugasan di sebuah perusahaan  multi nasional di Australia. Kita jadi banyak berinteraksi dengan banyak suku bangsa, ada bangsa  Australia, Filipina, Hong Kong dan India. Yang tentunya memiliki kebiasaan yang berbeda.
Saat sudah bekerja, kita pun banyak berinteraksi dengan karyawan perusahaan internasional, baik Amerika Serikat, China, Taiwan, Malaysia, Thailand, India dan Singapura.
Kita sering bertemu dalam rapat, konferensi maupun pelatihan. Baik yang diadakan di dalam maupun luar negeri. Jadi, kita harus sanggup beradaptasi, prinsipnya saling menghormati satu sama lain.
Untuk mengurusi proyek-proyek di luar Jakarta, seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, dan Kalimantan Timur, kita selalu ditunjuk, mengingat keluwesan kita berinteraksi dengan warga setempat.
Aktifitas bergabung dalam organisasi profesi, menyebabkan kita harus sering keliling Indonesia, baik untuk rapat kerrja, musyawarah daerah maupun musyawarah nasional  Bertemu dengan sesama pengurus yang berbeda suku dan agama. Saat pergi ke Aceh dan Kalimantan Selatan, kita sempat ikut berpuasa pada bulan puasa, karena semua tempat makan tutup. Tetapi kita senang, karena dapat merasakan buka puasa bersama. Selain mengenali adat istiadat tiap daerah, juga dapat menyaksikan tarian adat dan mencicipi kuliner khas tiap daerah.
Kesimpulannya, manusia memang diciptakan berbeda. Kita harus mensyukuri perbedaaan ini dengan saling menghormati. Melalui saling pengertian ini, kita jadi mudah dalam berinteraksi maupun bekerja sama. Perbedaaan itu ternyata Indah, maka janganlah pernah menganggap identitas kita yang paling unggul.
Biasakanlah hidup dalam keberagaman, dan nikmatilah keindahannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H