Bagi seorang karyawan, kinerjanya harus terus menerus di evaluasi, agar perusahaan mengetahui benar-benar karyawan mana yang benar-benar  berprestasi atau memberikan sumbangan pemikiran yang paling luar biasa pada perusahaan. Dengan adanya evaluasi kinerja (performance evaluation)  yang diterapkan dengan benar, akan dapat dicegah munculnya karyawan jenis 'penjilat' atau ABS (Asal Bapak Senang).
Pada beberapa perusahaan, evaluasi kinerja biasanya dilakukan tiap semester sekali. Dilakukan pada bulan Juli dan Januari. Juli untuk mengevaluasi kinerja bulan Januari hingga Juni, sedangkan Januari untuk mengevaluasi kinerja bulan Juli hingga Desember.
Evaluasi biasanya dilakukan oleh atasan langsung ke bawahannya. Misal, antara manajer divisi terhadap stafnya. Lalu manajer divisi dievaluasi oleh Direktur. Sedangkan Direktur sendiri dievaluasi oleh Direktur Utama.
Hasil dua kali evaluasi ini  digunakan sebagai dasar untuk nenentukan jumlah bonus tahunan (bila ada),  prosentase kenaikan gaji tahunan,  besarnya komisi yang akan dibagikan, promosi seorang karyawan ke jenjang yang lebih tinggi atau karyawan yang akan mendapat undangan menghadiri achiever meeting (bila ada).Â
Jadi dasar untuk memberikan penghargaan (reward) dan hujuman (pilunishment). Yang selanjutbya juga dapat menjadi dasar untuk memperyahankan, mencoba memperbaiki atau memecat seorang karyawan.
Evaluasi kinerja biasanya meliputi disiplin kerja (preaensi), prestasi dalam pencapaian target, dan sikap. Pencapaian target yang paling mudah adalah bagian penjualan. Karena dapat dilihat dari banyaknya PO yang diperoleh atau banyaknya proyek lelang yang dimenangkan.
Sedangkan bagi bagian lain, misal administrasi atau akunting, biasanya melihat pada kecepatan dan ketepatan kerja.
Itulah sebabnya, pada bulan Juli dan Januari adalah saat paling nenegangkan bagi semua karyawan. Baik tingkat rendah hingga tingkat tinggi.
Namun penilaian kinerja oleh seorang saja, atau atasan saja, bisa tidak obyektif.Bisa saja karyawan yang menjadi 'anak emas' atasan mendapatkan hasil evaluasi kerja baik. sebaliknya, karyawan yang sering disebut 'anak tiri' akan mendapat nilai evaluasi kerja yang kurang. Sehingga sering muncul karyawan yang bersikap 'penjilat' sehingga menjadi kesayangan atasan. Atau, karyawan yang apatis bila penilaian dirasakan tidak obyektif.
Yang tidak dapat terjadi manipulasi penilaian evaluasi kinerja, hanyalah pada bagian penjualan. Seorang karyawan penjualan yang berhasil mencapai target, akan sulit dijatuhkan oleh atasannya, Â paling hanya pada penilaian sikap. Kalau prestasi kerja jelas terukur, sedangkan preaensi juga terukur. Memang dasar penilaian evaluasi kerja harus dibuat terukur, sehingga mempetkecil terjadinya manipulasi penilaian. Dasar penilaian harus obyektif, Jang bersifat subyektif.
Guna menghindari hal ini, sebaiknya penilaian evaluasi kinerja karyawan dilakukan minimal oleh 3 orang, yaitu atasan langsung, atasan tidak langsung Dan karyawan sederajat. Lalu nilainya dirata-rata, sehingga hasilnya diharapkan akan lebih obyektif.
Misal, seorang karyawan dijatuhkan oleh atasannya dengan nilai 40, bila dia sebenarnya prestasinya bagus, yang dilihat oleh atasan tidak langsung dan karyawan sederajat, dan mendapat nilai 80 dan 80. Maka nilai rerata karyawan ini adalah (40+80+80)/3=66,6.
Semoga dengan menerapkan dasar penilaian evaluasi kerja yang obyektif, akan dapat diperoleh karyawan yang benar-benar berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H